Potret Demokrasi yang Terancam Hancur di Pemalang

Potret Demokrasi yang Terancam Hancur di Pemalang

- in Narasi
1
0
Alarm dari Pemalang dan Penyakit Kronis “Kerukunan Simbolik”

Bentrokan yang terjadi pada 22 Juli 2025 di Desa Pegundan, Kecamatan Petarukan, Pemalang, menimbulkan kekhawatiran tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga di dunia maya. Insiden tersebut melibatkan dua organisasi massa (ormas), yakni Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS) dan Front Persatuan Islam (FPI), yang berujung pada kericuhan serius di sekitar lokasi peringatan bulan Muharam. Kericuhan tersebut mengakibatkan lima orang terluka akibat sabetan senjata tajam.

Bentrokan itu sendiri terjadi ketika sejumlah anggota PWI-LS berusaha membubarkan acara yang menghadirkan tokoh kontroversial, Habib Muhammad Rizieq Shihab (Habib Rizieq). Setelah sempat dihalau oleh pihak kepolisian, sebagian massa tetap berhasil mendekati panggung, bahkan melemparkan batu ke arah kelompok yang dianggap sebagai pendukung FPI. Aksi saling kejar dan lempar batu berlangsung selama sekitar 15 menit, mengakibatkan suasana semakin tegang.

Salah satu saksi mata melaporkan bahwa bentrokan ini melibatkan dua kelompok, dengan salah satu kelompok mengenakan pakaian putih (diduga FPI) dan kelompok lainnya mengenakan pakaian hitam (PWI-LS). Hingga saat ini, korban-korban dari peristiwa ini sudah dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis, namun pihak kepolisian belum mengeluarkan keterangan resmi terkait insiden tersebut.

Insiden semacam ini bukanlah hal yang jarang terjadi dalam dinamika sosial Indonesia, di mana pertentangan ideologis antara kelompok-kelompok tertentu sering berujung pada kekerasan fisik. Bentrokan antara ormas yang terjadi di Pemalang menggambarkan ketegangan yang terus memuncak antara mereka yang mendukung kebebasan berpendapat dengan mereka yang berpegang pada prinsip-prinsip tertentu yang mereka anggap lebih sah atau benar.

Ketegangan ini juga diperparah dengan paradigma ulama pribumi vs ulama impor yang mencuat dalam diskursus sosial-politik Indonesia, yang memandang keberadaan tokoh-tokoh tertentu seperti Habib Rizieq sebagai simbol kepentingan politik luar, berlawanan dengan kelompok yang menilai perjuangan ulama-ulama lokal sebagai lebih otentik.

Fenomena bentrokan ormas ini tidak hanya berbicara soal kekerasan fisik yang tampak di permukaan, melainkan juga soal kesenjangan sosial dan ideologis yang semakin terpolarisasi dalam masyarakat Indonesia. Konsep “perang membela ulama” yang sering kali dibungkus dengan narasi perjuangan agama telah menjadi legitimasi bagi tindakan kekerasan.

Kondisi ini seolah mengaburkan makna sejati dari perjuangan, yakni meraih keadilan sosial dan hak asasi manusia, menjadi ajang pembuktian eksistensi dan kedudukan kelompok dalam ranah sosial politik. Hal ini semakin diperburuk dengan adanya labelisasi yang lebih mengutamakan satu kelompok “pribumi” yang berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai budaya lokal dibandingkan dengan “ulama impor” yang dianggap mewakili kekuatan luar negeri, seakan-akan mereka yang berasal dari luar tanah air tidak memiliki hak untuk berperan dalam urusan keagamaan di Indonesia.

Narasi ini memicu ketegangan yang tak hanya merusak hubungan antar kelompok di dunia nyata tetapi juga mempengaruhi ruang digital yang lebih luas. Di media sosial, bentrokan ini menjadi viral dan semakin memperburuk polarisasi antara berbagai kelompok di masyarakat. Berbagai pihak mulai saling menyerang, baik secara fisik maupun verbal, tanpa adanya solusi yang konstruktif untuk menyelesaikan masalah mendasar yang menjadi pemicu ketegangan tersebut. Dapat dikatakan, kekerasan fisik ini adalah wujud dari krisis pemahaman bersama dan berkomunikasi dengan penuh rasa hormat, yang semakin tergerus dalam ruang-ruang publik.

Masyarakat yang terfragmentasi ideologi sempit semakin terjebak dalam perang dingin antar kelompok, di mana aksi kekerasan dan penolakan terhadap individu atau kelompok tertentu menjadi hal yang dibenarkan dalam narasi “perjuangan”. Padahal, Indonesia merupakan negara demokratis, perbedaan pendapat seharusnya dihargai, dan setiap individu berhak untuk menyampaikan pandangannya dengan cara yang damai dan terhormat. Oleh karena itu, penting untuk menggali lebih dalam peran negara, khususnya aparat kepolisian, dalam mencegah terjadinya eskalasi konflik yang dapat merusak stabilitas sosial dan merugikan banyak pihak.

Perang ideologi yang terjadi dalam insiden Pemalang tidak hanya soal perbedaan pandangan agama atau politik, tetapi juga tentang bagaimana “perang” itu dikonstruksi dan dipahami dalam konteks budaya Indonesia yang beragam. Konsep “ulama pribumi” yang berjuang untuk mempertahankan agama dan budaya lokal sering kali digambarkan berseberangan dengan “ulama impor”, yang dipandang sebagai simbol dari kekuatan politik luar negeri yang dianggap tidak memiliki kepentingan dalam mempertahankan nilai-nilai lokal.

Namun, memahami perbedaan ini dalam sosial-politik Indonesia yang multikultural harus diimbangi dengan penghargaan terhadap keberagaman dan komitmen untuk menyatukan perbedaan tersebut dalam sebuah harmoni yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.

Klaim eksklusif terhadap ulama tertentu, baik “pribumi” maupun “impor”, seharusnya tidak dibenarkan dalam sistem demokrasi yang berlandaskan pada kebebasan berpendapat dan keberagaman. Pemahaman yang lebih luas tentang “perang ulama” seharusnya mengarah pada upaya untuk memperkuat toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Negara seharusnya menjadi mediator yang mampu menanggulangi ketegangan dan mencegah kekerasan berbasis identitas dan ideologi, demi terciptanya masyarakat yang lebih damai dan berkeadilan.

Bentrokan di Pemalang bukan hanya sekadar peristiwa lokal, tetapi juga mencerminkan fenomena sosial-politik yang lebih besar, yang mencakup ketegangan antara ideologi-ideologi yang berbeda, baik dalam konteks agama maupun budaya. Kericuhan ini menunjukkan bahwa konflik sosial, apabila tidak ditangani dengan bijaksana, dapat merusak stabilitas sosial dan menumbuhkan ketidakpercayaan antar kelompok.

Penting bagi semua pihak untuk menyadari bahwa dalam keberagaman, perdamaian dan toleransi adalah kunci untuk menjaga keharmonisan bangsa. Konflik ideologi harus diselesaikan dengan dialog konstruktif, bukan dengan kekerasan, agar tidak merusak fondasi sosial yang sudah dibangun dengan susah payah.

Facebook Comments