“Di Indonesia, Islam tidaklah membangun peradaban, ajaran itu mencocokkan diri”
(Clifford Geertz)
Jurnalis asal Australia, Sadand Dhume, mengakui keramahan muslim di Indonesia. Menurutnya, Indonesia adalah satu-satunya negara yang berpenduduk mayoritas muslim dan bisa menerima perbedaan yang mencolok sekalipun, misalnya perbedaan keyakinan. Ini agaknya sesuai dengan pendapat Clifford Geertz, yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia cenderung mencocokan diri dengan kebudayaan, bukan menghancurkan kebudayaan lalu membangun peradabannya sendiri.
Pengakuan Sadand Dhume muncul dari kunjungannya ke Bali, sebuah pulau yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Ia mengatakan, “Di sinilah satu-satunya tempat di dunia di mana Anda menyebut diri sebagai Muslim, namun bisa menamai anak-anak Anda Wisnu atau Sita, demi mencapai tuntunan moral dalam lakon pewayangan berdasarkan epos kuno Hindu, Mahabharata..” (Sadand Dhume, 2009)
Sejarah juga telah mencatat, Islam masuk Indonesia bukan melalui tangan-tangan tentara Arab. Islam tumbuh dan berkembang di Indonesia melalui jalur perdagangan. Pedagang-pedagang yang berasal Arab, Persia, dan Gujarat, selain melakukan transaksi ekonomi di Nusantara, juga berhasil menarik minat masyarakat setempat untuk belajar Islam.
Begitu juga yang dilakukan oleh wali-wali Nusantara. Melalui tangan mereka, Islam diajarkan kepada masyarakat dengan jalan yang ramah. Islam tidak dihadirkan sebagai entitas lain di luar kebudayaan, yang menegasikan eksistensi kebudayaan tersebut. Melainkan, Islam bisa menyusup ke dalam jantung-jantung kebudayaan lokal, selama itu tidak bertentangan dengan konsep tauhid.
Contoh yang paling mudah kita temukan adalah dakwah model Wali Nusantara. Sunan Kalijaga, misalnya, mendakwahkan Islam melalui media wayang. Waktu itu, wayang menjadi tontonan favorit masyarakat Jawa, karenanya Sunan Kalijaga melihat ini sebagai peluang. Ia lalu menyisipkan nilai-nilai Islam melalui pewayangan. Nilai-nilai Islam disisipkan melalui jurus-jurus yang dimiliki oleh lakon-lakon tertentu.
Tembang-tembang yang dulu digemari masyarakat juga dilirik oleh Sunan Kalijaga. Ia melihat potensi dakwah melalui tembang-tembang tersebut. Maka dibuatlah tembang lir-ilir, yang memiliki nuansa nilai-nilai keislaman yang kuat tapi juga tidak melepaskan kebudayaan Jawa.
Akan tetapi, Islam Indonesia yang dikenal ramah, dalam perkembangannya kian menampakkan wajah berbeda. Terhitung semenjak tahun 1970-an, di mana rezim Soeharto menerapkan pendidikan agama yang seragam. Seakan-akan, Islam Indonesia mulai dilucuti dari khazanah asalnya dengan kombinasi urbanisasi yang cepat. Selain itu, muncul juga tokoh-tokoh Timur Tengah dengan gagasan pemurniannya. (Sadand Dhume, 2009)
Toleransi yang telah lama bercokol dalam diri muslim Indonesia, kian hari terancam dengan keberadaan kelompok kecil Islam garis keras. Mereka lebih mengutamakan tampilan luarnya ketimbang isi. Mereka juga menuntut untuk diperlakukannya hukum syariah sebagai hukum positif. Sebagian kelompok bahkan gemar melakukan perusakan tempat hiburan, dengan alasan amar ma’ruf nahi munkar.
Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga sangat sensitif jika ada perseorangan atau kelompok yang menyinggung agama mereka, terutama agama Islam. Telah banyak bukti yang menunjukkan kecenderungan tersebut. Kejadian terbaru adalah puisi Sukmawati yang dianggap melecehkan agama Islam. “Sari Konde” yang disandingkan dengan “Cadar” dan “Kidung” yang disandingkan dengan “lantunan adzan”.
Pembacaan puisi yang berjudul Ibu Indonesia tersebut agaknya perbuatan yang ceroboh. Terlebih, hal tersebut dilakukan di tahun politik, di mana banyak kepentingan yang berseliweran. Puisi tersebut bisa dijadikan kartu “AS” untuk menjatuhkan lawan politik, terutama di hadapan pemilih muslim.
Namun, ada efek yang jauh lebih berbahaya dari sebatas alat untuk menjatuhkan lawan politik. Puisi tersebut seakan-akan membenturkan antara agama Islam dan kebudayaan. Ini yang mesti disadari dan sesegera mungkin dicarikan solusinya.
Jika kita melihat sejarah, tentu akan menemukan fakta bahwa Islam sangat ramah dengan kebudayaan. Nilai-nilai Islam justru bisa diaplikasikan setelah melebur ke kebudayaan setempat.
Perintah menutup aurat tidak bisa direalisasikan jika kebudayan tidak menyediakan kain penutup. Sementara masing-masing negeri, memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Di Arab, misalnya, perempuan bercadar, selain memang untuk menutup aurat, juga untuk melindungi tubuh dari suhu panas yang ada di sana. Begitu juga di Indonesia, karena iklimnya tidak seekstrim di Arab atau negara lainnya, maka model penutup kepala muslimah pun berbeda. Sebagai contoh, kerudung yang dipakai Siti Nuriyah, istri almarhum Gus Dur, yang memiliki perbedaan mencolok dengan penutup kepala model Arab.
Mestinya, muslim Indonesia bersyukur karena telah hidup di negara dengan akar kebudayaan yang kuat. Sampai saat ini kita bisa hidup tenteram tanpa suara desingan peluru, lantaran masyarakatnya yang masih merawat kebudayaan yang sejalan dengan ajaran Islam.
Tanpa kebudayaan, Islam tidak bisa berkembang demikian pesatnya. Islam di Indonesia bukan membangun peradaban, melainkan mencocokkan diri dengan kebudayaan setempat.