Nilai-Nilai Keislaman dalam Bingkai Keindonesiaan

Nilai-Nilai Keislaman dalam Bingkai Keindonesiaan

- in Narasi
2142
0

Islam masuk ke Indonesia pada abad 7 (menurut teori yang termahsyur) melalui jalur perdagangan. Kemudian penyebarannya dilakukan melalui beberapa saluran yaitu perdagangan, perkawinan, dakwah, pendidikan dan akulturasi budaya. Islam kemudian berkembang pesat setelah disebarkan oleh Walisongo di tanah Jawa. Penyebaaran yang berlangsung cepat tersebut dikarenakan para Walisongo tidak menggunakan pedang dan kekerasan, tetapi melalui pendekatan budaya dan dengan cara yang lemah lembut.

Islam yang masuk ke Indonesia kemudian tidak serta merta membunuh budaya lokal yang ada, tetapi Islam menginternalisasikan nilai-nilai luhurnya ke dalam budaya tersebut. Salah satu contohnya ialah budaya wayamg. Wayang adalah bagian dari ritual agama politeisme, namun diubah menjadi sarana dan dakwah pengenalan ajaran monotoisme.

Ketika Islam yang merupakan “produk impor” dari Arab hidup dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang memiliki kebudayaan lokal, agar tidak terjadi gesekan antara agama dan budaya, maka perlu diintegralkan antara agama dan budaya atau keislaman dan keindonesiaan. Pemikiran keislaman dan keindonesiaan dapat diartikan bahwa nilai-nilai keislaman menjadi ruh dan pedoman hidup masyarakt Indoensia dan Indonesia merupakan ladang bagi persemaian nilai-nilai keislaman. Apabila pemikiran ini menajdi paradigma bangsa Indoensia, maka dapat dipastikan tidak akan terjadi benturan antara agama dan budaya/negara.

Semangat keislaman dan keindonesiaan dapat kita jumpai pada resolusi jihad yang dipekikkan oleh K.H Hasyim Asy’ari. Resolusi tersebut berisi hubbul wathan minal iman, mencintai tanah air adalah sebagian dari pada iman. Dengan menjadikan cinta tanah air (nasionalisme) atau bela tanah air sebagai bagian dari pada iman, maka umat Islam Indonesia pada zaman dahulu mendapatkan motivasi yang besar untuk melawan penjajah. Jika saja pada jaman dahulu tidak ada resolusi tersebut, bisa saja bangsa Indonesia tidak memiliki ghirah perjuangan yang besar dalam menumpas kolonialisme karena terjadi dikhotomisasi antara keislaman dan keindonesiaan.

Setelah Indonesia merdeka, semangat keislaman dan keindonesiaan juga termanifestasikan di dalam konsesnsus bersama yang menjadi konstitusi kita, yaitu Pancasila. Pancasila tersebut berisi tentang nilai-nilai keislaman yang harus dimanifestasikan oleh masyarakat Indonesia. Sila pertama berisi ajaran tauhid sebagaimana yang terdapat dalam surah Al-Ikhlas. Sila kedua berisi nilai keadilan yang juga terdapat pada surah An-Nisa ayat 135 dan Al-Maidah ayat 8. Sila ketiga berisi persatuan sebagaimana terdapat pada surah Al-Hujurat ayat 13 dan Ali Imran ayat 103. Sila keempat berisi musyawarah, juga terdapat pada surah As-Syura ayat 38 dan An-Nisa ayat 59. Dan sila kelima yaitu keadilan sosial, termaktub dalam surah An-Nahl ayat 90.

Dua bentuk relasi keislaman dan keindonesiaan di atas harus tetap dijaga dan dilestarikan oleh umat Islam Indoenesia agar tidak terjadi gesekan dan benturan antara agama dan negara ataupun Islam dan Indonesia. Mengingat akhir-akhir ini bermunculan narasi yang mencoba untuk memisahkan relasi keislaman dan keindonesiaan dari NKRI dengan cara mendirikan khilafah. Selain itu, budaya lokal nusantara juga dibenturkan dengan agama Islam sehingga menimbulkan gesekan pada tataran masyarakat.

Oleh karena itu, marilah kita bersikap realistis bahwa kita adalah umat Islam yang hidup di bumi Indonesia. Salah satu cara yang paling tepat untuk mewujudkan kehidupan yang damai ialah dengan selalu menjaga semangat keislaman dan keindoensiaan. Sebagaimana ungkapan Lafran Pane, “Di mana pun kau berkiprah tak ada masalah, yang penting semangat keislaman dan keindonesiaan itu yang harus kau pegang teguh.”

Facebook Comments