Pelaku teror semakin muda? Fenemona ini memang mengejutkan. Di beberapa negara kelompk teror telah berhasil melakukan regenerasi keanggotaan dengan merekrut pemuda bahkan anak-anak di bawah umur. Proyek besar ini tentu saja bermaksud untuk selalu menjaga rantai generasi kelompok ektremis ini tetap berjalan saat para ideolog mereka sudah mulai udzur.
Di Australia, menjelang pergantian tahun 2016, Pihak berwenang telah memperingatkan bahwa para tersangka teroris di Australia semakin lebih muda. Seorang anak-laki-laki yang berusia 12 tahun sekarang sedang diselidiki oleh badan-badan intelijen keamanan. Anak tersebut adalah yang termuda dari 18 tersangka ekstremis di negera Kanguru tersebut.
Teror di Bataclan Concert Hall di Kota Paris, Prancis, yang diklaim dilakukan oleh ISIS juga melibatkan anak muda. Seorang jurnalis radio dari Europe1, Julien Pierce, yang menjadi salah satu orang sandera di kejadian tersebut menuturkan bahwa beberapa pelaku masih sangat muda dan tampak tidak beringas.
Di Indonesia, hampir sebagian besar pelaku bom bunuh diri atau yang terlibat dalam aktifitas jaringan teror adalah kalangan generasi muda. Teror bom Thamrin juga tidak luput dari pelaku yang masih berusia muda. Fakta lain, kita masih ingat dengan penangkapan terhadap tiga orang tersangka jaringan teror di Klaten yang ternyata masih duduk di salah satu sekolah menengah atas di Klaten.
Jika pemuda yang menjadi target, hal yang patut diwaspadai bahwa kelompok teror sedang melakukan design besar yakni proyek regenerasi keanggotaannya dengan meracuni otak para pemuda dan anak. Dan bukan hal mustahil ke depan pelaku teror itu adalah para anak muda. Atau bahkan tokoh kunci dan ideolog pun sudah terdiri dari kalangan pemuda.
Karena itulah, ada persoalan besar yang harus dihadapi dan menjadi PR besar kita bersama. Hal yang tidak kalah penting dari melakukan penegakan hukum terhadap kelompok teror adalah memutus mata rantai terorisme di Indonesia. Bagaimana upaya memutus mata rantai terorisme tersebut?
Bibit itu Bernama Radikalisme
Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Hendropriyono menyebut akar ideologi tersebut adalah radikalisme. Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme.
Saya sangat sependapat dengan pernyataan KH Said Aqil Siradj yang mengatakan Indonesia darurat radikalisme. Banyak warga negara ini yang terjangkiti paham dari luar yang tidak sesuai dengan semangat NKRI dan ajaran agama yang moderat. Inilah titik tolak yang dipahami. Bahwa Indonesia tidak hanya darurat terorisme, tetapi radikalisme telah menyusup secara perlahan dalam diri warga Indonesia khususnya pemuda.
Dari mana penyusupan itu terjadi? Salah satunya adalah pendidikan. Lihatlah satu kasus temuan buku ajar di salah satu Taman Kanak-Kanak (TK) di Depok Jawa Barat. Kejadian serupa tidak hanya sekali. Pertengahan tahun 2015 kita juga dikejutkan dengan temuan serupa di Jawa Timur. Banyak sekali pemikiran, pesan dan paham sebagai bibit-bibit yang ditanam melalui dunia pendidikan. Selain itu, banyak pula penyusupan paham radikalisme di lingkungan pendidikan terjadi melalui organisasi dan kelompok pertemanan di sekolah.
Karena itulah, memutus mata rantai regenerasi kelompok teror adalah dengan cara menjaga pemuda kita dari pengaruh paham radikalisme khusus di lingkungan sekolah. Dalam konteks ini negara harus hadir di lingkungan sekolah untuk menghadirkan pendidikan yang bersih dari paham kekerasan dan terorisme. Pendidikan menjadi garda depan dalam menyiapkan generasi bangsa ini sebagai generasi yang tangguh, unggul dan tentu saja memiliki semangat nasionalisme dan integritas tinggi terhadap bangsa dan negara.
Selain negara, ada tiga institusi sosial yang sangat penting untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda dari pengaruh radikalisme di lingkungan pendidikan. Pertama, lembaga pendidikan yang meliputi kepala sekolah, guru dan kurikulum. Lembaga pendidikan harus membentengi anak didiknya dalam memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda.
Kedua, pendidikan keluarga. Keluarga melalui peran orang tua berperan besar untuk menanamkan ajaran dan paham cinta dan kasih sayang kepada generasi muda dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Orang tua harus berperan aktif mengajak anaknya untuk berkomunikasi dan berdiskusi.
Ketiga, pendidikan komunitas: Masyarakat menjadi sangat penting sebagai ruang sosial di mana pemuda bermain. Pendidikan komunitas melalui peran tokoh masyarakat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda. Pemuda harus selalu dirangkul dan tidak kucilkan dalam aktifitas sosial di masyarakat.