Mendakwahkan Pancasila

Mendakwahkan Pancasila

- in Narasi
560
0
Mendakwahkan Pancasila

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Sebagai ideologi (terbuka), Pancasila yang merupakan hasil konsensus bersama dari para founding father bangsa, ternyata tidak luput dari “gugatan”. Ya, hingga kini mungkin masih ada oknum yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Namun demikian, yang bersikeras mempertahankannya sebagai harga mati, tentu tidak perlu dipertanyakan lagi jumlahnya. Lebih dari itu, apa yang mesti dipahami, kenapa Pancasila tidak boleh diganti dengan paham-paham yang lain? Apa begitu sakti Pancasila hingga tidak boleh diganti dengan apapun oleh siapapun? Pancasila tidak lain adalah rumah bersama anak bangsa. Mengingat kembali bagaimana Pancasila ditetapkan sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah sebuah tindakan yang bijaksana. Sebuah dasar negara yang menjadi ciri khas dan jati diri negara kita.

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan adat (budaya). Oleh sebab itu, diperlukan ideologi besar yang bisa mengadvokasi semua unsur keberagaman tersebut. Jika tidak ditemukan ideologi yang bisa menerima semua itu, maka yang terjadi adalah perpecahan dan disintegrasi bangsa. Pancasila dalam hal ini menjadi solusi yang tepat untuk kebutuhan bersama tersebut.

Diakui atau tidak, jika kita menelisik sejarah lahirnya Pancasila, maka akan kita temukan adanya perdebatan yang sengit antargolongan yang membawa usulan-usulan pada saat penyusunan Pancasila dulu. Salah satu yang paling sengit perdebatannya adalah antara golongan Islam dengan golongan nasionalis. Dalam konteks ini, golongan Islam mengusulkan agar Pancasila dikonsep sesuai dengan ajaran Islam. Dengan dalih, mayoritas penduduk bangsa Indonesia beragama Islam. Sementara golongan nasionalis lebih bersepakat bahwa Pancasila yang disusun harus mampu diterima oleh semua pihak, bukan hanya Islam. Sebab, di Indonesia, agama tidak hanya Islam.

Setelah mengalami perdebatan panjang, akhirnya tercapai mufakat Pancasila dengan mengahpuskan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di dalam Piagam Jakarta, menjadi berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama. Para ulama’-ulama’ Islam yang awalnya menolak Pancasila akhirnya menerima dan kemudian membenarkan bahwa keberadaan Pancasila memang penting bagi bangsa yang multikultural ini. Dewasa ini, perdebatan tentang itu kembali mengemuka, karena ada pihak-pihak yang membenturkan Islam dan Pancasila untuk memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Meneladai Mbah Lim

Kesadaran untuk menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) dalam kita bernegara yang secara bersamaan juga menjadi titik temu (kalimatun sawa’) keberagaman bangsa Indonesia perlu selalu dipupuk, demi terwujudnya cita-cita para founding father negara kita tercinya. Inilah yang seharusnya disadari dan dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia. Dalam kontes ini, kita bisa meneladani sosok KH Rifai Muslim Imampuro atau yang sering disapa Mbah Lim. Namun, kiai yang merupakan legenda hidup ormas Islam Nahdlatul Ulama’ (NU) itu telah meninggal pada 24 Mei 2012, dalam usianya yang ke 91 tahun.

Mbah Lim yang berasal dari Klaten itu memang sosok yang fanatik teradap pancasila. Salah satu fakta unik yang menunjukkan akan hal itu adalah pemberian nama pondok pesantrennya. Kiai kebanggaan warga Nahdliyin itu memberi nama pondok pesantrennya dengan Ponpes Al Muttaqien Pancasila Sakti. Pondok itu bertempat di Kecamatan Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah. Jika merujuk pemberian nama terhadap pondok pesantrennya, maka kesan pertama bagi orang yang mendengar atau tahu hal itu adalah heran. Mengapa? Seperti biasanya, pondok pesantren umumnya mempunyai nama yang berbau Arab. Sebut saja, pesantren Al-Barkah, Al-Hamdulillah, Al-Anwar, Al-Mu’min, Darul Qalam, Roudlatul al-Talibin, dan sebagainya.

Dalam konteks ini, pemberian nama pondok pesantren “Al Muttaqien Pancasila Sakti” memang terkesan aneh dan tidak wajar. Namun, ada hal yang ingin disampaikan Mbah Lim kepada masyarakat lewat nama tersebut. Kata “Al-Muttaqien” (adalah isim fa’il dari fi’il madhi ittaqa yang artinya bertakwa) pada nama tersebut mengarah kepada oang-orang yang bertakwa. Tentu saja ini menunjukkan identitas Islam yang sesungguhnya. Dan kata “Pancasila” menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai sebuah dasar yang harus dipatuhtaati dan dijadikan sebagai ideologi bersama, yaitu pancasila. Sedangkan, kata “Sakti” memberikan indikasi bahwa pancasila memang dianggap sakti oleh Mbah Lim. Itulah cara dakwah yang dilakukan oleh Mbah Lim.

Rasa dan sikap nasionalisme yang ada pada sosok KH Rifai Muslim Imampuro memang tidak bisa diragukan lagi. Bahkan setiap akan ada kegiatan ataupun acara di pondok pesantrennya, lagu Indonesia Raya selalu menjadi pembuka acara. Menurut KH. Hasyim Muzadi, penerimaan NU terhadap Pancasila tidak lepas dari sosok seperti Mbah Lim. Meski Fanatik dengan Pancasila, tetapi bukan berarti Mbah Lim mempersamakan Pancasila dengan agama. Namun, Mbah Lim percaya bahwa perjuangan Pancasila, melalui nilai dan normanya, akan mengantarkan Indonesia ke jalan agama. Mbah Lim, lanjut Hasyim, selalu mengatakan ’Pancasila Sakti’ karena proses agamisasi Indonesia tidak bisa melalui kekuasaan semata, tetapi melalui nilai, norma, dan budaya Pancasila. (Kompas, 25/05/2013)

Hal ini tentu berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini. Banyak tokoh dan ulama’ yang justru menolak pancasila, karena dianggap tidak kompreshensif. Padahal, perumusan pancasila dulu tidak bisa dilepaskan dari ulama’-ulama yang pada waktu itu. Mereka sepakat dengan pancasila dijadikan sebagai dasar negara karena dianggap membawa nilai-nilai Islam. Kini, Indonesia mengharap sosol ulama’ yang Pancasilais, yang melihat Pancasila sebagai jalan tak terelakkan bagi kaum muslimin dan bangsa Indonesia. Pengkhianatan atas nilainya akan membuat Indonesia semakin terpuruk di kancah internasional.

Pancasila adalah anugrah besar yang patut disyukuri oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kewajiban setiap rakyat Indonesia adalah memahami, menghayati Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, serta mendakwahkannya kepada saudara-saudara kita yang belum memahaminya. Dengan begitu, cita-cita para founding father kita akan bisa tercapai, yang tentu saja kita harus bersusah payah dalam memperjuangkannya.

Dalam konteks Indonesia, telah terbukti bahwa orang dengan berbagai macam latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan, tidak membuat Indonesia pecah dan bercerai berai. Karena itulah, jelas bahwa Pancasila menjadi rumah bersama untuk kembali yang harus didakwahkan. Jika kepada penganut Islam, maka perlu dialog yang cukup bahwa Pancasila itu ternyata tidak bertentangan dengan Islam, dan bahkan lima silanya justru sangat sesuai dengan Islam. Mendakwahkan Pancasila tidak hanya sebatas gembar-gembor, tetapi harus sampai kepada pengejawantagan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi aksi nyata warga negara. Manusia-manusia Pancasila akan membawa Indonesia kepada peradaban yang unggul dan mulia. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Facebook Comments