Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada umat muslim yang hendak berpartisipasi mensukseskan Natal 2025, umat beragama di Indonesia kiranya perlu melihat kembali salah satu fase paling penting dalam sejarah Islam: masa Rasulullah di Madinah.
Fase tersebut bukan hanya penting bagi umat Islam, tetapi juga menjadi laboratorium sosial-politik yang merekam bagaimana hubungan antar-agama dikelola secara konstruktif, adil, dan berperadaban tinggi. Dalam konteks negara-bangsa modern, di mana pluralitas agama menjadi tak terhindarkan, pengalaman Rasulullah di Madinah memberi banyak pelajaran tentang bagaimana koeksistensi, kolaborasi, dan solidaritas dapat dibangun di atas prinsip saling menghormati, keadilan, serta pengakuan terhadap hak hidup kelompok lain.
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, masyarakat kota tersebut sangat plural. Ada kelompok Aus dan Khazraj yang memeluk Islam, ada komunitas Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzhah, juga ada kelompok-kelompok yang belum memeluk agama apa pun. Masing-masing kelompok struktur sosial yang berbeda-beda.
Namun, alih-alih mengelola masyarakat dengan prinsip dominasi, Rasulullah justru menghadirkan dua langkah besar: penyusunan Piagam Madinah dan pembangunan relasi sosial yang menempatkan seluruh kelompok sebagai bagian dari komunitas politik bersama. Prinsip ini sangat penting untuk dipahami dalam konteks negara-bangsa modern seperti Indonesia, di mana warga negara berasal dari berbagai agama dan latar budaya yang berbeda-beda.
Pelajaran pertama yang diwariskan Rasulullah adalah pentingnya membangun kesepakatan bersama yang mengikat seluruh anggota masyarakat tanpa menghapus identitas agama masing-masing. Piagam Madinah merupakan contoh paling jelas. Dalam dokumen tersebut, umat Islam, Yahudi, dan kelompok lainnya dipersatukan dalam satu identitas politik: ummah wahidah, suatu komunitas kebangsaan yang diikat oleh tanggung jawab bersama.
Pengakuan terhadap keberagaman ini tidak diiringi upaya menyeragamkan, tetapi justru memfasilitasi setiap kelompok untuk menjalankan agama masing-masing. Ini sejalan dengan prinsip negara-bangsa modern yang tidak didesain untuk mencampur-adukkan teologi, tetapi untuk menjamin keamanan, keadilan, serta kebebasan beragama setiap warga negara. Dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang menempatkan kebebasan beragama dan hidup harmonis sebagai fondasi utama kehidupan bernegara.
Pelajaran kedua yang dapat ditarik dari Rasulullah di Madinah ialah pentingnya membangun relasi sosial yang berkeadilan, bukan hanya toleransi pasif. Toleransi pasif hanya menahan diri untuk tidak menyerang, tetapi tidak menciptakan ruang kerja sama yang konkret.
Rasulullah justru membangun toleransi aktif: bekerja sama dengan berbagai kelompok dalam hal keamanan, ekonomi, dan solidaritas sosial. Komunitas Yahudi tetap diberi hak-hak politik dan hukum yang adil selama mereka juga berkomitmen menjaga stabilitas bersama.
Dalam konteks negara-bangsa, hal itu berarti bahwa hubungan antar-agama bukan sekadar saling menghormati dalam ruang privat, tetapi perlu diwujudkan dalam solidaritas publik, seperti saling tolong-menolong dalam mensukseskan perayaan hari besar agama masing-masing dan serta membangun ruang dialog yang menjaga kohesi sosial.
Pelajaran ketiga, Rasulullah mengajarkan bahwa konflik agama harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang disepakati bersama, bukan melalui kekerasan. Piagam Madinah secara tegas mengatur mekanisme penyelesaian konflik, sehingga setiap kelompok memiliki kejelasan bagaimana hak mereka dilindungi. Prinsip rule of law ini sangat relevan untuk konteks Indonesia, yang sejak awal di bangun di atas keberagaman.
Di Indonesia, keberagaman memang dapat menimbulkan gesekan, tetapi penyelesaiannya tidak boleh menyerah pada tekanan kelompok mayoritas atau minoritas, melainkan harus dikembalikan pada hukum nasional yang melindungi seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Keberagaman hanya dapat dirawat jika negara hadir sebagai pengatur.
Pelajaran keempat dari Rasulullah adalah kemampuan menempatkan kemanusiaan sebagai titik temu lintas agama. Rasulullah menunjukkan empati kepada semua masyarakat Madinah tanpa membeda-bedakan latar agama. Bahkan dalam beberapa riwayat, Rasulullah berdiri menghormati jenazah Yahudi karena ia menghormati martabat manusia.
Dalam konteks Indonesia—sebagai negara-bangsa yang sangat plural dan pernah mengalami tragedi keagamaan—pelajaran dari Madinah itu mengajarkan bahwa kehidupan bersama tidak dibangun dengan saling mencurigai, tetapi dengan memperkuat kerja sama lintas iman, serta memperluas ruang-ruang publik yang mengajak semua warga terlibat.
