Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

- in Narasi
1
0
Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup di dunia untuk saling menyayangi sesama makhluk. Pun demikian dalam Islam diajarkan untuk selalu menabur kedamaian dan mengubur dalam-dalam segala kebencian di antara anggota masyarakat yang beragam ini. Dari sini jelas bahwa agama cinta sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan dan memainkan peranan penting dalam upaya persatuan umat.

Bahkan dalam undang-undang kita jelas, sebagaimana termaktub pada UUD ’45 Pasal 28 E ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. Dan ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai hati nuraninya.

Diatur juga dalam pasal 28 I ayat (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dua pasal tersebut juga menegaskan bahwasanya undang-undang kita mengatur kepada seluruh umat beragama untuk mengamalkan moderasi dalam kehidupan beragama.

Diantara contoh kasus kekerasan sosial yang mengatasnamakan agama, melanggar agama cinta, dan dilakukan kelompok intoleran. Sebut saja, masih terekam peristiwa perusakan Masjid Al-Kautsar di Kendal Jawa Tengah (2016); perusakan masjid oleh anggota FPI (2012); pembakaran 14 rumah, 1 masjid dan 1 musholla hancur terbakar di Dusun Sambielen, Lombok, Nusa Tenggara Barat (2001); serta pembakaran 5 rumah, 1 Masjid dan 1 musholla milik JAI di Keruak, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (1998). Belum lagi, kasus-kasus lainnya seperti penyerangan, tindakan anarkis, intimidasi, dan diskriminasi lainnya yang berimbas pada runtuhnya kohesi sosial dan kebangsaan.

Dalam menata kembali keharmonisan kehidupan beragama yang tercemar akibat ulah perusak yang mengatasnamakan agama Islam, di sinilah pentingnya moderasi beragama yang termasuk pengamalan agama cinta. Banyak pelaku perusakan tempat ibadah yang mengatasnamakan Islam di negara ini akibat pemahamannya yang mengarah radikalisme, ekstremisme, dan takfirisme. Padahal wajah Islam sesungguhnya adalah agama yang toleran dan mengusung kedamaian. Inilah esensi dari moderasi Islam. Dengan moderasi Islam ini tentunya dapat membangun sebuah keharmonian sosial, budaya, dan agama. Selain itu, juga membangun peradaban dan kebangsaan di Indonesia.

Virus intoleransi yang disebar oleh kaum radikalisme seperti tindakan perusakan tempat ibadah, tidak sedikit menjadi pemicu buruknya citra Islam, karena seolah dianggap Islam memberikan ajaran kekerasan tanpa adanya rasa kemanusiaan di dalam setiap nilai-nilai keagamaan yang diterapkan. Padahal, hakikat ber-Islam sesungguhnya adalah menebar cinta, kasih sayang, dan kedamaian bagi sesama makhluk tanpa diskriminasi. Islam adalah agama yang ramah bukan marah; agama yang mengajak bukan malah merusak; dan agama yang merangkul bukan malah memukul.

Oleh karena itu, dari berbagai problem virus intoleransi sebagaimana kasus perusakan masjid Ahmadiyah, moderasi beragama yang termasuk pengamalan agama cinta ialah salah satu solusi yang dapat dipilih sebagai vaksin dari infeksi radikalisme serta turunannya. Harapannya, dengan moderasi beragama inilah akan membuat keadaan bangsa dan negara Indonesia menjadi kondusif. Imunitas bangsa kita akan selalu kuat untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Facebook Comments