Mengapa Anak Rentan Terpapar Paham Kekerasan?

Mengapa Anak Rentan Terpapar Paham Kekerasan?

- in Narasi
8
0
Mengapa Anak Rentan Terpapar Paham Kekerasan?

Fenomena terpaparnya 110 anak usia 10–18 tahun oleh paham radikal-terorisme, sebagaimana ditemukan Densus 88 melalui penelusuran media sosial dan game online, mengguncang banyak pihak. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah cermin rapuhnya benteng sosial yang seharusnya melindungi generasi muda.

Beberapa dari anak-anak tersebut bahkan ada yang telah disiapkan untuk melakukan aksi teror. Hal ini menandakan bahwa kelompok teroris tidak lagi bekerja dalam pola rekrutmen lama. Mereka telah beradaptasi dengan ekosistem digital, memanfaatkan celah psikologis dan sosial anak-anak dengan cara yang semakin subtil dan sistematis.

Jika ingin memahami akar kerentanan tersebut, kita perlu mengupasnya lewat empat lapisan utama: perubahan strategi rekrutmen kelompok teror, dinamika psikologis anak, perkembangan teknologi tanpa literasi kritis, serta kelonggaran sistem sosial yang gagal memberikan proteksi memadai.

Dalam beberapa tahun terakhir, pola rekrutmen terorisme mengalami transformasi. Kelompok-kelompok ekstremis tidak lagi mengandalkan rekrutmen tatap muka atau indoktrinasi di ruang-ruang tertutup. Mereka menyasar ekosistem digital tempat anak dan remaja menghabiskan banyak waktu: media sosial, forum daring, hingga game online.

Memahami Faktor

Strategi ini menandai apa yang oleh para peneliti disebut sebagai youth-targeted radicalization, yakni upaya sistematis menyasar generasi muda demi regenerasi ideologis.

Ada alasan struktural di balik ini.

Pertama, kelompok teror kian kehilangan basis perekrutan dewasa karena tekanan aparat dan meningkatnya kesadaran publik. Anak-anak dinilai sebagai “lahan kosong”: lebih mudah dipengaruhi, lebih jarang dicurigai aparat, dan secara emosional lebih labil.

Dalam logika propaganda, anak adalah investasi jangka panjang. Dengan memasukkan mereka ke ruang ideologi sejak dini, kelompok teroris menanam benih yang bisa mereka panen bertahun-tahun kemudian.

Kedua, dari sisi psikologis, kerentanan anak bukanlah misteri. Masa remaja adalah periode ketika otak—khususnya prefrontal cortex, bagian yang mengatur kontrol diri dan pertimbangan risiko—belum berkembang sempurna. Di sisi lain, dorongan untuk mencari identitas, penerimaan sosial, dan rasa memiliki meningkat tajam. Inilah kondisi ideal yang sering dieksploitasi kelompok radikal.

Tokoh-tokoh teroris di dunia maya sering tampil sebagai figur yang “mengerti”, menawarkan makna hidup, kepahlawanan instan, dan akses ke komunitas yang seolah menerima apa adanya. Mereka memainkan emosi yang fluktuatif, menormalisasi kekerasan sebagai keberanian, dan memasukkan narasi musuh-bersama untuk menciptakan loyalitas.

Dalam perspektif psikologi perkembangan, ini adalah bentuk manipulasi yang beroperasi lewat emotional grooming—proses panjang membentuk ketergantungan emosional sebelum menanamkan ideologi ekstrem.

Ketiga, teknologi menjadi akselerator kerentanan. Dunia digital menawarkan ruang pergaulan tanpa batas yang memungkinkan interaksi terjadi tanpa pengawasan. Banyak anak menggunakan media sosial dan game online bukan sekadar untuk bermain, tetapi sebagai ruang pelarian dari stres akademik, konflik keluarga, atau kesepian sosial. Ketika tumbuh dalam ruang digital tanpa literasi, mereka tidak mampu menyaring mana konten kekerasan yang bersifat hiburan, mana propaganda ekstrem.

Game online menjadi medium baru karena beberapa kelompok radikal memanfaatkan fitur percakapan, guild, atau forum untuk membangun kedekatan emosional. Banyak pengalaman radikalisasi dimulai dari obrolan sepele: tips bermain, candaan, hingga diskusi yang perlahan berubah ke isu ideologis. Sistem ini bekerja karena game adalah ruang yang “aman”, menyenangkan, dan tidak tampak politis. Celah inilah yang jarang disadari orang tua.

Keempat, kerapuhan ini diperparah oleh kelonggaran sistem sosial. Keluarga sering kali tidak dibekali kemampuan memadai untuk memantau aktivitas digital anak. Sekolah lebih berfokus pada capaian akademik ketimbang literasi digital dan sosial-emosional. Komunitas keagamaan, yang seharusnya menjadi benteng moral, kadang justru tidak sensitif terhadap narasi ekstrem yang berkembang di ruang maya.

Artinya, lingkungan sosial kita cenderung permisif terhadap konten kekerasan: mulai dari candaan bernada diskriminatif hingga glorifikasi figur-figur radikal. Celah itu membuat anak tumbuh dalam lanskap simbolik yang membuat kekerasan tampak lumrah dan bahkan heroik. Pada titik ini, radikalisasi bukan hanya persoalan ideologi, tetapi kegagalan kolektif menjaga ruang tumbuh generasi muda.

Saatnya Mencegah

Mencegah anak terpapar paham kekerasan membutuhkan pendekatan yang tidak parsial. Ia menuntut ekosistem perlindungan yang berlapis. Keluarga perlu membangun komunikasi yang hangat agar anak tidak mencari validasi di ruang digital yang kelam.

Sekolah harus mengintegrasikan literasi digital dan pendidikan sosial-emosional secara serius, termasuk pelatihan deteksi dini bagi guru. Negara perlu memperkuat regulasi platform digital dan memperluas program pembinaan seperti Sekolah Damai yang telah diinisiasi BNPT.

Di era ketika ruang digital menjadi perpanjangan dari kehidupan sosial anak, proteksi tidak bisa lagi mengandalkan larangan, tetapi literasi, dialog, dan pendampingan yang konsisten. Anak bukan hanya objek yang harus dijaga, tetapi subjek pembelajar yang perlu diperlengkapi agar mampu membedakan mana jalinan yang menuntun pada masa depan, dan mana jejaring yang menjerumuskannya pada gelapnya kekerasan.

Facebook Comments