Resep Pemuda di Era Rasulullah Membangun Persatuan Madinah

Resep Pemuda di Era Rasulullah Membangun Persatuan Madinah

- in Narasi
1
0
Resep Pemuda di Era Rasulullah Membangun Persatuan Madinah

Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang kembali ikrar agung para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara yang meleburkan identitas kesukuan mereka—Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon—menjadi satu identitas kebangsaan: Indonesia. Sumpah itu adalah sebuah deklarasi untuk meruntuhkan sekat-sekat demi sebuah cita-cita bersama.

Jauh sebelum itu, di sebuah oasis bernama Yatsrib, sebuah sumpah serupa, meski tak terucap dalam format yang sama, telah dipraktikkan oleh sebuah generasi muda yang mengubah total lanskap sosial semenanjung Arab.

Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, Yatsrib (kini Madinah) adalah potret masyarakat yang terkoyak. Dua suku Arab dominan, Aus dan Khazraj, terperangkap dalam siklus konflik berdarah yang berkepanjangan. Loyalitas tertinggi mereka bukanlah pada komunitas, melainkan pada fanatisme kesukuan yang sempit (ashabiyah).

Kondisi ini diperparah oleh intrik ekonomi dan politik dari suku-suku Yahudi yang sering mengadu domba keduanya demi mempertahankan hegemoni. Yatsrib adalah antitesis dari persatuan, sebuah medan pertikaian tanpa kepemimpinan yang solid.

Transformasi dari Yatsrib yang terpecah menjadi Madinah yang bersatu dimulai dari sebuah rekayasa sosial yang digagas oleh Rasulullah. Para pemuda Muhajirin—pendatang dari Makkah yang terusir, miskin, dan tercerabut dari akar sosial mereka—dipersaudarakan secara personal, satu per satu, dengan para pemuda Anshar, penduduk asli Madinah yang telah memeluk Islam.

Di sinilah spirit Sumpah Pemuda menemukan resonansinya. Ikatan darah dan suku, yang selama ini menjadi sumber kebanggaan sekaligus perpecahan, secara sadar dilampaui dan digantikan oleh sebuah ikatan baru yang lebih luhur, yaitu persaudaraan iman.

Solidaritas yang lahir dari kebijakan ini bukanlah solidaritas transaksional, melainkan solidaritas transformatif yang termanifestasi dalam dua sikap mulia.

Pertama adalah itsar atau altruisme dari kaum Anshar. Mereka tidak hanya membuka pintu rumah, tetapi juga hati dan pundi-pundi mereka. Kisah Sa’ad bin Rabi’ al-Anshari yang menawarkan separuh kekayaannya kepada Abdurrahman bin ‘Auf al-Muhajiri adalah puncak dari pengorbanan personal demi persaudaraan komunal.

Mereka bahkan rela mengurangi jatah makan anak-anak mereka agar tamu Muhajirin bisa makan. Ini adalah wujud nyata dari semangat “berbagi tanah air” dalam arti yang paling hakiki.

Namun, solidaritas sejati adalah jalan dua arah. Kedermawanan luar biasa ini direspons oleh para pemuda Muhajirin bukan dengan mentalitas ketergantungan, melainkan dengan ‘iffah (harga diri) dan etos kerja yang tinggi.

Jawaban Abdurrahman bin ‘Auf terhadap tawaran Sa’ad bisa menjadi pelajaran bagi kita,

“Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu. Cukuplah tunjukkan kepadaku di mana pasar.”

Para pemuda Muhajirin, dengan keahlian berdagang yang mereka bawa dari Makkah, segera terjun ke pusat ekonomi dan membangun kemandirian mereka. Mereka menolak menjadi beban, dan memilih menjadi mitra yang produktif.

Kombinasi antara itsar kaum Anshar dan ‘iffah kaum Muhajirin inilah yang menjadi mesin penggerak solidaritas Madinah. Ia mengajarkan sebuah pelajaran fundamental bahwa persatuan yang kokoh tidak dibangun hanya dari satu pihak yang memberi dan pihak lain yang menerima.

Ia dibangun di atas fondasi kerelaan berkorban dari mereka yang memiliki, dan semangat kemandirian serta kerja keras dari mereka yang membutuhkan.

Hasilnya adalah sebuah generasi muda yang solid dan berdaya. Karena loyalitas tidak lagi diukur dari asal-usul suku, meritokrasi berbasis kapasitas dan ketakwaan pun tumbuh subur. Pemuda tidak lagi dipandang sebelah mata karena usianya.

Usamah bin Zaid, di usia 18 tahun, dipercaya memimpin pasukan yang di dalamnya terdapat sahabat-sahabat senior. Zaid bin Tsabit, seorang pemuda cerdas, menjadi penulis wahyu dan penerjemah negara. Solidaritas telah membebaskan potensi mereka dari kungkungan tradisi kesukuan.

Cermin sejarah ini menawarkan refleksi mendalam bagi pemuda Indonesia hari ini. Semangat Sumpah Pemuda adalah warisan yang harus terus dirawat, bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan tindakan nyata yang terinspirasi dari ukhuwah Madinah.

Tantangan kita hari ini mungkin bukan lagi fanatisme kesukuan seperti Aus dan Khazraj, tetapi polarisasi politik, kesenjangan ekonomi, dan egoisme kelompok yang sama-sama korosif terhadap tenun kebangsaan.

Pelajaran dari Madinah jelas. Solidaritas sejati menuntut kerelaan untuk memberi dan berbagi seperti kaum Anshar, sekaligus menuntut semangat untuk bekerja keras, menjaga harga diri, dan tidak menjadi beban seperti kaum Muhajirin. Inilah esensi gotong royong yang sesungguhnya.

Dengan meneladani spirit ini, para pemuda Indonesia dapat mentransformasi energi kolektif mereka, bukan untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk bersama-sama membangun sebuah bangsa yang adil, mandiri, dan bersatu.

Facebook Comments