Eksploitasi Ideologi Mengatasnamakan Hijrah dan Jihad Semu

Eksploitasi Ideologi Mengatasnamakan Hijrah dan Jihad Semu

- in Narasi
2
0
Eksploitasi Ideologi Mengatasnamakan Hijrah dan Jihad Semu

Propaganda terbaru ISIS melalui majalah al-Naba’ (2025) yang menyerukan ajakan berjihad ke Sudan merupakan bukti bagaimana jaringan ekstremis memanfaatkan konflik global untuk menyalurkan ideologi dan merekrut simpatisan. Dalam edisi tersebut, ISIS menampilkan Sudan sebagai medan perjuangan umat dan menyamarkan seruan militeristik dengan narasi keagamaan. Seruan ini kemudian diamplifikasi oleh jaringan lokal seperti Jemaah Ansharut Daulah (JAD), yang menerjemahkan pesan global itu ke dalam bahasa, konteks, dan sentimen sosial Indonesia. Proses lokalisasi ini memperlihatkan bagaimana ideologi transnasional diolah agar tampak relevan bagi individu yang sedang mencari makna keagamaan atau pelarian dari realitas sosialnya.

Majalah al-Naba’ berfungsi sebagai saluran resmi propaganda ISIS, menggabungkan strategi komunikasi visual dan teks yang dirancang untuk mengikat emosi pembaca. Di dalamnya, penderitaan rakyat Sudan disajikan sebagai bukti ketidakadilan global terhadap umat Islam. Narasi ini bekerja pada dua tingkat. Tingkat pertama, membangkitkan rasa empati; kedua, menyalurkan empati itu ke arah ekstrem dengan ajakan untuk meninggalkan negara asal dan bergabung di medan perang.

JAD memainkan peran penting dalam tahap amplifikasi. Mereka menyebarkan potongan artikel al-Naba’ melalui Telegram, forum daring, dan jaringan personal. Dalam versi yang beredar di Indonesia, mereka menambahkan elemen local, seperti retorika “solidaritas Muslim Nusantara” untuk memperhalus citra kekerasan dan menimbulkan ilusi tanggung jawab religius. Strategi tersebut efektif karena beroperasi di celah antara kesalehan pribadi dan identitas nasional.

Propaganda yang di lakukan oleh an-Naba’ merupakan bentuk disintegrasi ideologis. Nasionalisme Indonesia dibangun di atas asas kebangsaan, kebinekaan, dan gotong royong, bukan atas dasar kesetiaan pada entitas politik lintas batas. Ketika ajakan jihad transnasional muncul, ia berusaha memindahkan pusat loyalitas dari negara-bangsa ke komunitas global yang tidak memiliki legitimasi politik maupun moral dalam sistem hukum nasional. Hal ini mengancam kohesi sosial dan menurunkan rasa tanggung jawab warga negara.

Perjuangan umat tidak boleh keluar dari bingkai hukum nasional, karena jihad modern dapat berbentuk pembangunan ekonomi, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan, bukan perang bersenjata di tanah asing. Dengan kata lain, politik Islam nasionalis menempatkan jihad sebagai etos pembangunan, sedangkan propaganda ISIS menafsirkan jihad sebagai bentuk destruksi.

Menghadapi penetrasi narasi ekstremis ini, Indonesia membutuhkan ketahanan ideologis berbasis nasionalisme inklusif dan Islam wasathiyah. Pendidikan kebangsaan harus menanamkan pemahaman bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan iman, melainkan ruang untuk mewujudkan nilai-nilai Islam seperti keadilan sosial, kemaslahatan, dan solidaritas. Para ulama dan akademisi politik Islam juga perlu memperkuat wacana keislaman yang menekankan ijtihad sosial, bukan jihad destruktif.

Program deradikalisasi sebaiknya tidak hanya fokus pada aspek keamanan, tetapi juga membangun literasi digital dan teologis. Ketika narasi “hijrah ke Sudan” muncul di ruang maya, masyarakat yang kritis dan berpengetahuan akan mampu membedakan antara dakwah dan manipulasi ideologis.

Seruan jihad ke Sudan dalam al-Naba’ (2025) dan penyebarannya oleh JAD adalah contoh nyata dari taktik propaganda yang memanfaatkan luka kemanusiaan untuk merusak tatanan nasional. Ia menyerang akar nasionalisme dengan membingkai identitas keagamaan secara sempit dan agresif. Indonesia harus menjawab dengan memperkuat integrasi antara nasionalisme dan politik Islam moderat. Agama Islam dan nasionalisme tidak bersaing, melainkan saling menopang dan membangun bangsa merupakan bentuk jihad terbesar, dan menjaga kedamaian tanah air adalah bagian dari iman.

Facebook Comments