Mengikis Adu Domba dengan Pendidikan Toleransi Sejak Dini

Mengikis Adu Domba dengan Pendidikan Toleransi Sejak Dini

- in Narasi
1409
0

Jagat dunia maya bukan saja melahirkan kemudahan komunikasi, tetapi juga memudahkan lahirnya intoleransi yang disebarkan melalui berita hoax. Tragisnya, anak-anak kecil sudah mulai menjadi korban. Untuk itu, dunia maya menjadi ruang sagat strategis dalam menguatkan kembali pendidikan anti-radikalisme. Penguatan tidak cukup hanya bagi mereka yang sudah di bangku pendidikan menengah dan kuliah. Justru, usia dini menjadi masa emas untuk membentuk karakter anak yang toleran dan menghargai sesama. Hadirnya smartphone harus dibarengi dengan etos smart teacher, juga smart parent. Apalagi usia dini, sangat tepat untuk ditanamkan kecerdasan toleransi sejak dini. Karakter yang kuat bagi anak usia dini menjadi modal paling berharga dalam menatap masa depan.

Dunia maya harus diperankan sebagai media membangun pendidikan anti-radikal di usia dini. Ini harus menjadi aksi nyata yang bisa menggerakkan semua elemen bangsa dalam kesatuan perjuangan untuk menyingkirkan semua bahaya, khususnya terorisme dan radikalisme.

Tragedi terorisme selalu menjadi trauma mengenaskan bagi penduduk dunia. Semua seolah terhentak dan takut dengan beragam kisah tragis yang terus datang silih berganti. Tetapi trauma masyarakat dunia selalu terguncang, karena rangkaian kisah bom masih menghantui di berbagai belahan dunia. Indonesia termasuk korban yang bukan saja trauma, tetapi juga terus menjadi target yang dioperasionalisasikan jaringan yang kompleks. Anak usia dini harus sedini mungkin menerima informasi yang benar, sehingga tidak melahirkan trauma, atau bahkan bisa menghapus trauma yang mendera.

Dalam rangka menghadang trauma akibat terorisme inilah, perlu kiranya mencipta hubungan harmonis bagi anak usia dini. Proses penciptaan hubungan harmonis sangat strategis kalau dilakukan melalui dunia pendidikan. Terbukti, ragam kekerasan dan terorisme seringkali dialamatkan bersumber dari lembaga pendidikan. Bukan saja lembaga pendidikan banyak yang terjerat dengan selubung terorisme dan radikalisme, tetapi kekerasan seolah melekat dalam praktek keseharian pendidikan kita. Banyak kisah menyedihkan terlansir di berbagai media ihwal kekerasan yang masih belum usai dari lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan berperan penting mencetak kader bangsa dalam meneguhkan spirit toleransi dan menolak kekerasan. Kalau lembaga pendidikan mempunyai visi toleran, pastilah siswanya bisa menebarkan jiwa toleransi dan perdamaian kepada masyarakat. Sayang sekali, lembaga pendidikan kita masih belum maksimal dalam menjawab problem toleransi kebangsaan kita. Justru lembaga pendidikan seringkali terjebak dalam sikap intoleran, bahkan cenderung berlebih dalam fanatisme.

Peran Media

Membangun peradaban yang damai harus dikuatkan dalam lembaga pendidikan kita. Pendidikan merupakan media paling efektif dalam membangun generasi masa depan yang paham dengan toleransi dan kesetaraan. Untuk itu, sekolah harus memanfaatkan medsos untuk mendesain sebuah kurikulum yang “nyaman” bagi anak usia dini, yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman dan saling menghormati antar sesama yang berbeda-beda. Termasuk juga mengenalkan pendidikan agama bagi anak usia dini,perlu strategi yang jitu yang sesuai target. Medsos menjadi jembatan sangat tepat, karena dunia sekarang tak bisa lepas dari smartphone.

Dalam pendidikan kita selama ini, pengajaran perbedaan agama hanya sebatas “berbeda” an sich. Dalam arti, perbedaan masih sebatas pengetahuan, di mana keyakinan kita tetap yang paling benar, paing baik (the best), sementara yang lain (the others) adalah salah dan tidak sempurna (uncompletely). Pemahaman seperti ini sering mengarahkan kita kepada absolutisme keyakinan, sehingga keyakinan yang lain tidak bisa berdampingan.

Dalam konteks inilah, medsos harus disuguhkan lembaga pedidikan dengan mengisi pendidikan toleransi bagi anak usia dini. Peran guru akan menjadi titik sentralnya. Guru harus mampu memanfaatkan medsos untuk membangun mentalitas anak usia dini dengan bijaksana. Guru tidak hanya mengajarkan berbagai tempat ibadah dan sebagian ajaran agama lain, namun perlu menanamkan agar seorang anak usia dini dapat menerima dengan senang hati eksistensi agama orang lain. Dalam arti, anak didik tidaklah harus membatasi dirinya untuk bergaul dengan kawan-kawannya selain yang beragama seperti yang dianutnya. Semua harus ditempatkan dalam posisi sama dan setara. Medsos menjadi perekat untuk saling menjaga, mengasihi dan menyayangi. Jangan sampai ada yang melukai sesama.

Dalam hal ini, guru harus mendesain medsos sebagai ruang harmoni di tengah polah lucu anak usia dini, termasuk menyangkut persoalan keyakinan. Kita wajib melakukannya dengan senang hati dan tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, perlu pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana mewujudkan pergaulan yang toleran dan humanis. Toleran, yakni dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pemeluk agama lain untuk bergaul dan mengembangkan dirinya sebagaimana diri kita sendiri. Sedangkan humanis adalah bagaimana kita memperlakukan mereka sebagai sesama manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai human being.

Medsos yang menguatkan pendidikan toleransi dan humanisme inilah yang akan memberikan terobosan spektakuler dalam membangun perdamaian. Anak-anak usia dini akan menjadi remaja dan pemimpin masa depan yang setia dengan NKRI. Merekalah ujung tombak peradaban Indonesia masa depan.

Facebook Comments