Ngaji Yuk!

Ngaji Yuk!

- in Keagamaan
3835
0

Mengaji adalah sinonim dari kata belajar. Entah mulai sejak kapan istilah ini resmi dan populer digunakan. Karena nampaknya kata ini tidak memiliki verb tunggalnya dalam bahasa Indonesia. Banyak orang menduga istilah ini berawal dari kata kerja ‘Kaji’ yang jika diberi imbuhan ‘meng’ atau ‘peng-an’ akan menjadi ‘mengkaji’ dan ‘pengkajian’. Dengan teori imbuhan itu, semestinya kata ‘aji’ adalah verb tunggal dari istilah ‘mengaji’ atau ‘pengajian’. Namun arti ‘aji’ itu sendiri tidak relevan dengan makna pengajian dan mengaji.

Dalam komunikasi sehari-hari umat Islam Nusantara menyebut mengaji untuk kegiatan pembelajaran spesifik ajaran Islam. Membaca Alquran sendirian atau bersama-sama (tadarus) disebut mengaji. Belajar agama (kalam, fikih, tasawuf, akhlak, dan sebagainya) kepada seorang ustadz atau kyai juga disebut mengaji. Bahkan terkadang membaca shalawat (Burdah, Diba’, Barzanji, atau Simtud Durar) adalah aktifitas mengaji.

Sementara lokasi atau forum tempat diselenggarakan pengajian dikenal dengan nama ‘Majlis Taklim’. Bertahun-tahun lamanya istilah ini digunakan umat Islam di negeri ini, meski belakangan dua istilah paling populer tersebut mulai ditinggalkan oleh sebagian kelompok ‘Islam baru’. Di sejumlah masjid yang berada di perumahan-perkotaan misalnya lebih keren dan modern jika menggunakan istilah kajian, liqo’, dauroh, atau halaqah.

Tentu saja kita semua sepakat secara bahasa, apapun istilahnya pemaknaan mengaji tetap sama, yaitu pembelajaran agama Islam. Namun dalam konteks di Indonesia, nama-nama baru yang diidentifikasi dengan pengajian itu punya makna khas tersendiri. Penggunaan istilah kajian, liqo’, dauroh, atau halaqah biasanya memuat afiliasi organisasi dan ideologi keagamaan tertentu.

Istilah liqo’ atau liqoat misalnya, identik dengan model pengajian yang dilakukan oleh partai politik tertentu. Karena itu meski isinya nyaris serupa dengan model pengajian konvensional, namun agenda politik seperti penggalangan massa maupun ideologi keagamaan yang menjadi landasan berpolitik partai tersebut tak luput ikut disosialisasikan.

Demikian pula dengan istilah dauroh, meski kesannya adalah upaya melakukan pengajaran terhadap ajaran Islam namun di dalamnya memuat unsur pelatihan fisik. Konsep pelatihan fisik dalam dauroh konon sebagai bagian dari pemahaman mereka soal konsep i’daadul jihad (persiapan perang). Dengan begitu dauroh secara impilisit memberi kesan agar jamaah yang tergabung di dalamnya siap dalam berjihad dimanapun. Setelah mereka dinyatakan siap berjihad, barulah kemudian konsep jihad yang sempit diajarkan kepada mereka.

Materi atau bahan pembelajaran Islam yang diajarkan kelompok-kelompok baru tersebut juga sangat berbeda dengan konsep pembelajaran Islam yang disebut konvensional atau tradisional. Dalam pembelajaran Islam di lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah atau di majelis taklim, materi agama yang disampaikan berjenjang sesuai dengan tingkat pemahaman jamaah. Materi pun disampaikan sejak dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan pola kurikulum Islam yang sudah menjadi acuan selama berabad-abad, bukan melompat-lompat.

Dalam bidang ilmu fikih misalnya, bahasan paling awal adalah pembelajaran mengenai tata cara bersuci (thaharah). Setelah itu dilanjutkan secara berturut-turut pada penguasaan ibadah yang ada pada rukun Islam (shalat, zakat, puasa, dan haji). Setelah dasar ibadah dikuasai, jamaah baru bisa diberikan materi fikih transaksi perdagangan dan ekonomi (mu’amalat). Setelah menguasasi itu, jamaah masuk pada pembelajaran materi soal relasi pria dan wanita di dalam keluarga, termasuk pernikahan dan perceraian (munakahat). Setelah itu dikuasai jamaah belajar hukum waris (faraidh) dan hukum pidana (jinayat).

Setelah semua materi peribadatan individu, keluarga dan sosial itu dikuasai barulah jamaah pengajian konvensional diperkenankan mempelajari ilmu tentang hukum perang (babul jihad). Di dalam kurikulum fikih Islam hukum perang menempati posisi terakhir dalam materi pembahasan. Mereka yang ingin mempelajari ilmu ini harus lebih dahulu menguasai beragam ilmu dasar sebagaimana diurai sebelumnya. Demikian pula dengan ilmu tentang hukum tata negara (fiqh siyasah), ilmu ini hanya dapat dipelajari bagi mereka yang telah mumpuni keilmuan fikih dasar secara kompeherensif.

Inilah kurikulum baku yang sudah berjalan selama berabad-abad dalam peradaban Islam. Tentu saja kurikulum baku ini kini mulai banyak ditinggalkan. Sejumlah liqa’ atau dauroh misalnya, di banyak tempat mengajarkan materi hukum perang (babul jihad) sebagai materi pertama kajian. Sementara di lain kajian terkadang malah fikih politik (fiqh siyasah) yang dijadikan materi pertama.

Tentu saja model kajian Islam yang loncat-loncat tidak jelas ini berpotensi membahayakan. Bahayanya terletak pada potensi salah paham terhadap sejumlah ajaran Islam seperti jihad. Disinilah pentingnya belajar Islam secara berjenjang dan terarah, karena logikanya tidak mungkin seorang yang belum memiliki ilmu dasar keagamaan dipaksa memahami jenjang keilmuan yang lebih tinggi. Jika itu yang terjadi sama saja memaksa anak SD (Sekolah Dasar) untuk menguasai materi pelajaran Universitas.

Karena itu pula tidak terlalu mengherankan jika fenomena mengaji ala Islam baru itu justru menunjukkan fakta yang justru negatif, seperti maraknya orang hilang atau membabi buta dalam beragama. Meski demikian apapun alasannya, mengaji adalah aktifitas yang sangat penting dan perlu terus dikembangkan. Namun, materi pembelajarannya harus disesuaikan dengan kurikulum yang selama ini berlaku di kalangan umat Islam selama berabad-abad. Umat Islam juga harus lebih waspada penyebaran ajaran agama menyimpang (termasuk radikalisme) yang masuk lewat pengajian!

Facebook Comments