Otentisitas Keagamaan di Era Digital

Otentisitas Keagamaan di Era Digital

- in Keagamaan
513
0
Otentisitas Keagamaan di Era Digital

Sepertinya, pandemi corona yang terjadi beberapa tahun yang lalu adalah sasmita tentang apa yang akan orang hadapi pada detik ini: pola kehidupan yang sudah berubah dengan adanya dunia digital. Agama pun, yang konon oleh kalangan radikal diyakini tak mengenal ruang dan waktu, tak pula dapat lepas dari perubahan.

Fenomena work from home, transaksi-transaksi online, kelas-kelas daring di sekolah-sekolah dasar sampai sekolah tinggi, individualitas berbagai praktik keagamaan, dsb., adalah realitas-realitas baru yang barangkali baru tersadari karena faktor pandemi corona.

Satu hal yang patut diketahui dari dunia dakwah di era ini, yang senafas dengan perubahan cepat yang diakibatkan oleh teknologi-teknologi digital. Seorang kyai ataupun ustadz di era ini seakan tak mesti lagi memiliki kualitas-kualitas diri sebagaimana di masa lalu: seorang pribadi tunggal yang menguasai banyak keahlian.

Di masa lalu kerap seorang kyai ataupun ustadz, di samping dianggap sebagai seorang yang cukup menguasai bidang agama, mereka juga dianggap linuwih, kalau tak dapat melipat ruang dan waktu, minimal mereka bisa nyuwuk anak kecil yang rewel—sekali pun masih ada yang memiliki kualitas-kualitas masa lalu itu mereka sudah bertransformasi menjadi para penghibur atau entertainer selaiknya dagelan.

Namun kualitas-kualitas diri yang lazim di masa lalu itu kini sudah tergantikan oleh tata kelola modern yang menyaratkan adanya sebuah tim: peneliti atau para pencari bahan ceramah, penata artistik dan teatrikal, pawang hujan, talang atau bagian promosi, bahkan juga biro khusus untuk haji dan umroh.

Difererensiasi kerja itu tentu saja sejalan dengan dunia digital yang kini tengah orang hadapi. Media-media sosial, yang dapat memberikan ruang bagi siapa pun untuk menjadi seorang bintang, terlepas dari apakah ia otentik atau sekedar gorengan, dapat mentransformasikan, seumpamanya, lonthe atau preman menjadi ustadzah ataupun ustadz.

Era digital, yang dalam kajian kebudayaan memang tak lagi menghendaki adanya kedalaman, dimana oleh McLuhan dinyatakan ditandai pula oleh tak lagi terbedakannya antara substansi dan forma, tak lagi menuntut kualitas-kualitas diri lama untuk berada. Cukuplah orang untuk sedap ataupun tak sedap di mata, enak ataupun tak enak di kuping, dingin ataupun panas di hati. Sebab, dalam logika abad digital, cinta dan benci adalah sensasi yang sama-sama memiliki efek untuk melambungkan.

Demikianlah kondisi realitas yang orang hadapi yang memang tak mudah untuk ditolak atau disikapi secara antipati. Belum lagi fenomea kecerdasan-kecerdasan buatan yang seolah mendesakralisasikan karakteristik-karakteristik agama di masa lalu, yang bagi yang tak cukup iman dapat sedikit menyekunderkan agama bahkan pun dalam urusan tiga takdir yang konon sekedar urusan Tuhan: rezeki, kematian, dan jodoh. Terang, yang barangkali dapat hilang adalah otentisitas yang sejak lama menjadi tuntutan agama, namun ternyata menjadi tuntutan dari mekanisme-mekanisme dunia digital.

Nasib agama di era digital, secara ideal, tentu saja mesti hidup di ruang tarik-ulur antara dua kontras tersebut: antara yang formal dan substansial, antara yang profan dan yang sakral. Para agamawan, saya kira, mestilah pandai-pandai untuk memoderatisasikan segala kecenderungan untuk terjebak pada satu pilar dengan menafikan pilar yang lain. Tasawuf atau spiritualitas, entah yang berbingkai agama apapun, jelas adalah sebentuk perspektif yang membentuk watak toleran: toleran pada yang formal sekaligus yang substansial, yang profan sekaligus yang sakral.

Facebook Comments