Idealnya seorang aparatur sipil negara (ASN) bisa menjadi contoh bagi masyarakat sipil perihal bagaimana menjalani kehilangan berbangsa dengan baik benar. Namun, apa yang terjadi justru terkadang sebaliknya, ASN justru menjadi contoh buruk dalam menjalani kehidupan berbangsa ini. Misalnya, seperti ASN yang memilih jalan hidup berafiliasi dengan jaringan terorisme.
Kita sebenarnya tidak mengerti jalan pikiran ASN semacam R (ASN di salah satu RS di NTB) yang beberapa waktu lalu diringkus oleh Densus 88 bersama dua terduga teroris lainnya. Padahal, dengan memilih profesi sebagai ASN, ia seharusnya mendedikasikan dirinya untuk kepentingan bangsa. Bukan justru mengambil jalan bersebrangan, berafiliasi dengan jaringan terorisme.
Persoalan radikalisme di kalangan ASN memang sangat kompleks dan rumit. Namun, bagaimana pun, hal itu tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Harus ada langkah preventif dari negara untuk mencegahnya. Sebelum R, kita tahu salah satu karyawan BUMN juga terjebak dalam kasus yang sama. Dan, begitupun dengan banyak kasus-kasus lainnya di tubuh institusi negara lainnya.
Lima Langkah Preventif Mengatasi ASN Radikal
Radikalisasi ASN adalah masalah serius yang harus ditangani dengan tindakan preventif yang tepat. Pertama-tama, hal itu bisa dimulai dari memahami akar permasalahan radikalisasi ASN secara mendalam. Untuk itu, dalam hal ini penting bagi pemerintah untuk terlebih dahulu melakukan penelitian, kajian dan analisis mendalam untuk mengidentifikasi penyebab radikalisasi di kalangan ASN. Seperti faktor-faktor dan beberapa hal lainnya.
Kedua, hal lain yang juga tak boleh dilupakan adalah menguatkan paradigma pendidikan Pancasila di kalangan ASN. Penguatan paradigma pendidikan Pancasila di kalangan ASN merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk mewujudkan ASN yang berkualitas dan memiliki komitmen kuat terhadap bangsa dan negara. Paradigma Pancasila yang dimaksud di sini meliputi pandangan hidup, perasaan politik, dan ideologi dasar bangsa, yang mencakup sila-sila luhur yang mendasari tatanan sosial dan politik negara.
Ketiga, meningkatkan pengawasan terhadap ASN. Pengawasan ini terbilang sangat penting. ASN memiliki akses dan kepercayaan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintah yang sangat penting. Oleh karena itu, pengawasan ketat harus diterapkan kepada ASN.
Pengawasan itu bisa dilakukan mulai dari pengawasan terhadap aktivitas online ASN, terutama di media sosial, tempat radikalisasi seringkali tumbuh subur. Selain itu, sistem pelaporan yang aman dan terpercaya harus dibangun agar rekan-rekan ASN yang menyadari tanda-tanda radikalisasi dapat melaporkan dengan aman tanpa takut dikucilkan dan dimusuhi.
Keempat, mendidik ASN secara komprehensif. ASN perlu dilatih secara rutin tentang nilai-nilai pluralisme dan toleransi. ASN harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang kerangka hukum yang mengatur tugas dan tanggung jawab mereka sebagai ASN.
Pendidikan ini harus mencakup pemahaman yang baik tentang radikalisasi dan cara mengidentifikasinya. Selain itu, program deradikalisasi harus tersedia untuk ASN yang terlanjur terpengaruh. Dengan pendidikan yang kuat, ASN akan lebih tahan terhadap ideologi radikal.
Kelima, mendorong budaya inklusi dan keragaman di lingkungan atau institusi pemerintah. Menurut psikologi, banyak orang terpengaruh paham radikal karena eksistensi diri seseorang terkadang merasa tidak diakui atau merasa tidak dianggap sebagai bagian dari anggota komunitas.
Sehingga, dalam situasi kecewa semacam itu, seseorang cenderung mencari komunitas atau lingkungan yang mengakui keberadaannya. Karena itu, institusi pemerintah harus mendukung dunia kerja yang inklusif sehingga para ASN yang ada di dalamnya tidak merasa teralienasi.