Keberagamaan di Indonesia sering kali digambarkan dengan bentuk formalitas yang sangat menonjol. Hal ini terlihat dari banyaknya rumah ibadah yang tersebar di setiap sudut negeri, keramaian masjid saat waktu shalat, dan kemeriahan perayaan hari-hari besar agama.
Namun, apakah keberagamaan yang penuh dengan ritualitas tersebut benar-benar mencerminkan kualitas beragama? Apakah dampaknya dapat dirasakan dalam kehidupan sosial sehari-hari? Pertanyaan ini penting untuk direnungkan mengingat agama sejatinya tidak hanya soal ritual, tetapi juga nilai-nilai yang membentuk karakter dan perilaku individu.
Keberagamaan yang Terjebak Formalitas
Secara umum, umat beragama di Indonesia menunjukkan tingkat religiusitas yang tinggi. Umat Islam, misalnya, tidak pernah luput dari seruan adzan lima kali sehari. Pada momen tertentu, masjid, gereja, pura dan wihara seolah penuh dengan para jamaah.
Namun, fenomena ini sering kali hanya menyentuh aspek formalitas. Dalam banyak kasus, keberagamaan tidak diiringi dengan kesadaran mendalam tentang makna dari ibadah yang dilakukan.
Fenomena ini terlihat dari kontradiksi antara ritual keagamaan yang rajin dilakukan dengan perilaku sosial yang kurang mencerminkan nilai-nilai agama. Masih banyak umat beragama yang kurang ramah terhadap mereka yang berbeda keyakinan, abai terhadap kebersihan lingkungan, dan bahkan terjebak dalam perilaku koruptif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa agama seolah-olah menjadi urusan di rumah ibadah saja, tanpa menyentuh dimensi kehidupan lainnya. Orang beragama hanya ketika berada di rumah ibadah, tetapi perilaku beragama tidak tampak dalam kehidupan sosial.
Agama sejatinya tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga hubungan antar manusia (hablum minannas). Dalam Islam, konsep ini ditegaskan dalam firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(QS. Al-Baqarah: 277)
Ayat ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara keimanan, ibadah ritual (shalat) dan kebaikan sosial (amal shaleh). Namun, kenyataannya, keseimbangan ini sering kali tidak tercapai. Banyak yang rajin shalat, tetapi enggan untuk terlibat dalam kegiatan sosial seperti membantu yang membutuhkan atau menjaga lingkungan.
Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam sebuah hadis: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menekankan pentingnya empati dan kasih sayang dalam kehidupan sosial. Namun, praktiknya, banyak umat beragama yang abai terhadap nilai-nilai ini. Budaya antre, misalnya, masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Selain itu, perilaku koruptif yang merajalela menunjukkan betapa nilai kejujuran belum benar-benar menjadi bagian dari keberagamaan kita.
Menghubungkan Ritualitas dengan Kualitas Maqasyid Syariah
Salah satu akar permasalahan dari keberagamaan yang terjebak formalitas adalah kurangnya pemahaman tentang tujuan dari ibadah itu sendiri. Ibadah sering kali dilakukan hanya sebagai rutinitas tanpa diiringi kesadaran akan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu pula, banyak sekali orang atau kelompok yang menggaungkan penerapan dan penegakan sistem Islam, tetapi pada prakteknya tidak mencerminkan perilaku yang islami. Mereka hanya memperjuangkan formalitas agama, tetapi tidak ingin menerapkan kualitas dalam beragama.
Untuk keluar dari jebakan formalitas, umat beragama perlu melakukan refleksi mendalam tentang makna dari syariat dan ibadah yang dilakukan. Refleksi ini dapat dimulai dengan memahami bahwa keberagamaan yang sejati tidak hanya diukur dari kuantitas ritual, tetapi juga dari kualitas dampaknya dalam kehidupan sosial.
Dalam Islam, agama dengan syariatnya memiliki tujuan esensial yang disebut maqasyid syariah. Setiap ibadah dan ritual memiliki dimensi tujuan syariat. Maqashid syariah mencakup perlindungan terhadap agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-aql), keturunan (hifzh an-nasl), dan harta (hifzh al-mal). Setiap ajaran dan ritual agama harus diarahkan untuk mencapai tujuan ini agar keberagamaan memberikan dampak positif dalam kehidupan sosial.
Kita harus mengukur keberhasilan ibadah dengan maqashid syariah.Ibadah ritual seperti shalat, zakat, dan puasa tidak hanya dinilai dari pelaksanaannya tetapi juga dari sejauh mana ibadah tersebut mampu melahirkan perilaku yang mendukung maqashid syariah. Misalnya, shalat seharusnya mendorong seseorang untuk menjauhi perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut: 45), sementara zakat menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas sosial.
Keberagamaan yang sejati harus mampu melindungi dan memajukan aspek-aspek kehidupan manusia. Misalnya, menjaga lingkungan adalah bagian dari perlindungan terhadap kehidupan (hifzh an-nafs), sementara pendidikan adalah implementasi dari perlindungan akal (hifzh al-aql). Dengan demikian, ibadah ritual harus diarahkan untuk mendukung nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari.
Dari pada menggemborkan perubahan sistem negara dengan agama, yang patut kita lakukan adalah mengevaluasi pola beragama. Umat beragama perlu mengevaluasi apakah ritual keagamaan yang dilakukan sudah memberikan dampak nyata dalam kehidupan sosial. Apakah shalat kita mendorong kita untuk lebih jujur? Apakah zakat kita benar-benar membantu mengurangi kemiskinan? Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa formalitas agama tidak mengalahkan esensinya.
Keberagamaan yang berkualitas bukanlah tentang seberapa sering seseorang melakukan ritual ibadah, tetapi sejauh mana ibadah tersebut mampu membentuk karakter dan perilaku yang mulia. Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah ritual dan kontribusi sosial. Oleh karena itu, mari kita jadikan agama sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk masyarakat luas. Dengan demikian, keberagamaan kita tidak lagi terjebak pada formalitas, tetapi mampu memberikan dampak positif dalam kehidupan sehari-hari.