Resolusi 2025; Tiga Langkah Mempertahankan “Zero Attack Terrorism”

Resolusi 2025; Tiga Langkah Mempertahankan “Zero Attack Terrorism”

- in Narasi
4
0
Resolusi 2025; Tiga Langkah Mempertahankan “Zero Attack Terrorism”

Tahun 2024 ditutup dengan sejumlah catatan yang cukup membanggakan. Tahun politik itu berhasil dilewati tanpa gesekan sosial akibat pesta demokrasi. Di sisi lain, kita juga berhasil mempertahankan status “zero attack terrorism”. Di saat yang sama, Jamaah Islamiyyah secara sukarela membubarkan diri. Capaian positif itu tentu menjadi modal penting untuk mengarungi tahun 2025.

Tahun 2025 tentu menghadirkan tantangan yang tidak ringan terkait isu radikalisme dan ekstremisme. Konstelasi geopolitik di Timur Tengah yang belakangan diwarnai kemenengan Hayat Tahrir al Sham berpotensi membangkitkan sel terorisme lokal yang selama ini mati suri. Euforia kemenangan HTS di Suriah rawan menimbulkan gelombang hijrah ke Suriah jilid dua dan gelombang migrasi Foreign Terrorist Fighter (FTF).

Maka, salah satu resolusi penting tahun baru 2025 adalah mempertahankan capaian “zero attack terrorism”. Lantas, dengan kondisi nasional dan internasional saat ini, apa saja langkah yang bisa dilakukan untuk mempertahankan kondisi “zero attack terrorism” tersebut? Setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya.

Pertama, mempertahankan pengawasaan super ketat dan pemberangusan terhadap sel teroris. Selama ini, Densus 88 Anti-Teror menunjukkan performa yang memuaskan dalam memberangus teroris. Dalam buku “Berjuang di Sudut-Sudut yang Tak Terliput” Iqbal Aji Daryono menceritakan bagaimana seorang anggota Densus tetap ikut operasi menangkap teroris meski tengah sakit demam berdarah. Secuil kisah itu menggambarkan betapa kondisi zero attack terrorism ini bukan hadiah dari para teroris, melainkan hasil kerja keras aparat.

Kesigapan aparat memburu teroris di lapangan menunjukkan bahwa negara ini tidak akan pernah menyerah pada gerakan ekstrem radikal. Aparat yang sigap memberangus teroris adalah kunci mempertahankan kondisi “zero attack terrorism”. Selama 2024 aparat telah menangkap setidaknya 190 teroris. Itu artinya, sel teroris itu masih ada, hanya tiarap karena keterbatasan ruang gerak dan logistik.

Pentingnya Deradikalisasi Berkelanjutan

Kedua, melakukan deradikalasi berkelanjutan dengan mengoptimalkan beragam pendekatan. Deradikalisasi bukanlah proses instan sekali jadi dan hanya dilakukan di dalam penjara ketika narapidana terorisme menjalani hukuman. Banyak cerita mantan napiter yang kembali ke organisasi radikal-ekstrem. Faktornya bermacam-macam dan tidak hanya dilatari oleh ideologi. Ada yang karena faktor kesulitan ekonomi, hingga tidak diterima di masyarakat karena latar belakangnya sebagai teroris.

Agenda deradikalisasi harus dilakukan secara berkelanjutan. Deradikalisasi tidak hanya berhenti di penjara saja. Para mantan napiter harus didampingi pasca keluar dari penjara. Program deradikalisasi berbasis pemberdayaan ekonomi sebagaimana digagas BNPT dalam hal ini patut dioptimalkan lagi. Pemberdayaan ekonomi bagi para mantan napiter adalah bagian dari upaya mencegah mereka kembali ke organisasi radikal-ekstrem. Deradikalisasi berbasis pemberdayaan ekonomi ini tentu melibatkan kontribusi pihak swasta seperti pelaku usaha, korporat, dan sejenisnya.

Deradikalisasi berkelanjutan yang berbasis pada pemberdayaan ekonomi juga memungkinkan para mantan napiter untuk kembali ke masyarakat. Proses asimilasi mantan napiter kembali ke masyarakat ini juga membutuhkan kesadaran kita sebagai warganegara. Kita harus memberikan kesempatan kedua bagi para mantan napiter untuk bertaubat dan kembali menjadi bagian dari NKRI. Dengan begitu, mereka tidak akan merasa terkucilkan, dan pada akhirnya justru kembali ke organsisasi radikal.

Mengampanyekan Moderasi Beragama

Ketiga, mengintensifkan kampanye moderasi beragama ke kalangan milenial dan generasi Z yang menjadi sasaran rekrutmen kelompok radikal. Dalam beberapa tahun belakangan, ketika kaum ekstremis kesulitan melakukan aksi di lapangan, mereka justru kian intens merekrut anggota dan simpatisan baru melalui kanal-kanal media digital. Yakni melalui konten-konten media sosial yang disusupi oleh propaganda ekstremisme dan radikalisme.

Tidak sedikit milenial dan gen Z yang termakan oleh propaganda itu. Tanpa sadar mereka pun mengalami radikalisasi. Bentuk awal radikalisasi itu tampak pada sikap intoleran pada kelompok agama lain, sikap benci pada pemerintahan yang sah, juga sikap alergi pada ideologi Pancasila dan UUD 1945. Gejala-gejala itu mulai tampak menjangkiti kaum muda hari ini yang cenderung semakin konservatif dalam beragama.

Jika ideologi radikal-ekstrem itu ibarat virus, maka moderasi beragama adalah anti-dote atau penawar yang mencegah virus itu menjangkiti masyarakat, terutama generasi muda. Tantangan terberatnya adalah bagaimana mendesain agenda moderasi beragama yang mudah dipahami dan relate dengan gaya hidup kaum muda kekinian. Harus diakui, agenda moderasi beragama yang selama ini berjalan masih terjebak pada formalisme birokratis.

Di lapangan, agenda moderasi beragama lebih banyak ditafsirkan ke dalam beragam kegiatan seremonial, seperti seminar, pelatihan, riset akademik dan sejenisnya. Itu semua memang tidak salah. Namun, satu hal yang patut diingat, bahwa kegiatan seremonial itu tidak akan efektif dalam menjangkau kalangan milenial, apalagi gen Z yang dikenal sebagai generasi digital native. Maka, penting kiranya mendesain ulang agenda moderasi beragama agar lebih digital friendly sehingga relate dengan milenial dan gen Z.

Facebook Comments