Syeikh Abdusshomad Al Palembani merupakan salah seorang ulama berskala internasional yang berasal dari Nusantara. Nama belakangnya merujuk pada salah satu kota besar di Sumatera Selatan, Palembang. Ayahnya adalah seorang keturunan Arab Yaman yang menjadi Mufti Kedah bernama Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab Al Mahdani.
Syeikh Al Palembani hidup di masa Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan Palembang adalah kesultanan Islam Nusantara yanng berdiri sejak tahun 1659 sampai dibubarkan pemerintah kolonial pada 7 Oktober 1823. Al Palembani sendiri hidup di kisaran abad ke-18 M atau sekitar tahun 1700-an Masehi.
Berdasarkan catatan sejarah di masa kehidupan Syeikh Al Palembani, kesultanan Palembang sedang berada di puncak kejayaan intelektual keislaman. Aktifitas pemikiran keagamaan berkembang pesat seiring dengan datangnya banyak ulama di kesultanan ini di masa kepemimpinan Sultan Abdul Rahman (1662-1706). Sementara puncak kejayaannya terjadi di masa Sultan Najmuddin dan putranya, Sultan Bahaudin (1706-1804).
Meski situasi kesultanan sangat kondusif bagi aktifitas intelektual Syaikh Al Palembani, ia lebih memilih menghabiskan banyak umurnya untuk belajar dan menulis buku di negeri haramain, Mekah dan Madinah. Namun demikian, karya dan pemikirannya tetap ia dedikasikan untuk negerinya dan juga para muridnya di tanah air.
Karya-karya yang ia tulis selama di haramain merupakan respon terhadap sejumlah persoalan keagamaan di tanah air. Dengan begitu, Syeikh Al Palembani tidak bisa disebut putus dengan perkembangan pemikiran di tanah air. Bahkan dalam sejumlah karyanya, ia kerap memotivasi bangsanya untuk melawan penjajahan kolonial Belanda.
Di masa tuanya, Syeikh Al Palembani akhirnya memutuskan kembali ke tanah air. Di kampung halamannya ini ia mengajarkan tarekat Al Sammaniyah dan memperoleh banyak pengikut. Konsistensi dan keuletan Syeikh Al Palembani dalam bidang pemikiran tasawuf dan tarekat inilah yang kemudian menjadikannya sebagai seorang guru spiritual besar pada masa itu.
Pemikiran Syeikh Al Palembani soal tasawuf menarik untuk dikaji. Karena sebagaimana disinggung sebelumnya, pemikiran Al Palembani merespon ‘kegelilsahan’ intelektual yang terjadi di tanah air. Saat itu, kondisi keilmuan Islam di Indonesia sedang mengalami kecenderungan sufistik. Perdebatan, baik dalam ranah ilmiah maupun praktis, sedang menggelora. Isu yang paling mencuat dari ‘kegelisahan’ ini adalah pertarungan antara model tasawuf falsafi dengan tasawuf sunni.
Dalam definisi yang sangat sederhana, perbedaan dari kedua corak tasawuf ini terletak pada sisi pelaksanaan syariat Islam. Penganut tasawuf falsafi dianggap sebagai pengikut yang sedikit ‘lalai’ dalam persoalan teknis syariat agama. Sementara tasawuf sunni memiliki tingkat kepedulian tinggi dalam pelaksanaan teknis ritual agama. Meski demikian, diferensiasi dalam dua hal tersebut tidak sepenuhnya benar dan faktual.
Syeikh Al Palembani dalam sejumlah karyanya terlihat berupaya keras menggabungkan dua pendekatan tasawuf untuk mempersatukan perbedaan falsafi dan sunni. Dalam beberapa karyanya tampak jelas racikan pemikiran dari sufi besar falsafi Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dan sufi besar sunni Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Racikan tersebut adalah ranah ijtihad intelektual yang ia gunakan sebagai cara mempertemukan dua perbedaan.
Upaya Al Palembani melakukan ijtihad racikan menarik untuk dipahami. Pengalaman pemikiran sufistik di bumi Nusantara pernah mengalami fase traumatik yang menimbulkan pertumpahan darah. Sekitar seabad sebelum era Al Palembani (17 M), pertumpahan darah antara pengikut dua corak tasawuf di atas pernah terjadi di Kesultanan Aceh.
Pasalnya, seorang ulama tasawuf sunni kesultanan yang bernama Nuruddin Al Raniri memfatwakan hukuman mati bagi para pengikut Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri adalah seorang Syeikh besar tasawuf falsafi yang beken sebelum Al Raniri. Syeikh Fansuri memiliki gagasan tentang penyatuan hamba dengan Tuhan (wahdatul wujud) persis dengan gagasan Ibnu ‘Arabi.
Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh menjadi saksi bisu pertumpahan darah ini. Di sana sejumlah pengikut Fansuri dibunuh dan ribuan lembar karya Fansuri dan pengikutnya dibakar. Sebuah tragedi paling memilukan dalam sejarah umat Islam Nusantara di Kesultanan Aceh.
Atas dasar itulah, para ulama besar Nusantara di bidang tasawuf di masa setelah tragedi itu (17-18 M) berinisiatif mendamaikan corak sufistik yang ada. Idenya sederhana, bagaimana kedua corak tasawuf yang berkembang di masyarakat tidak saling menjatuhkan dan membinasakan. Caranya, gagasan-gagasan yang dinilai kontroversial diminimalisir dengan tasawuf sunni dengan tetap mempertahankan corak falsafi.
Ini adalah langkah paling mungkin. Buktinya, untuk wilayah se-Sumatera saja di abad paska Syeikh Fansuri dan Syeikh Al Raniri, telah melahirkan tiga ulama besar kaliber internasional. Ketiga ulama tersebut berupaya keras menjembatani kedua corak pemikiran sufistik tersebut. Secara berurutan ketiga nama ulama tersebut adalah: Syeikh Syamsuddin As Sumatrani, Syeikh Abdurrauf As Singkili, dan Syeikh Abdusshomad Al Palembani.
Beginilah contoh kearifan ulama Nusantara. Mereka sanggup mendamaikan kaum muslimin yang sedang bertikai dengan cara ilmiah dan kebijaksanaan. Tidak pernah satu tindakan pun yang berasal dari mereka berupa provokasi atau sikap yang mengeruhkan suasana. Inilah pelajaran penting yang dapat diperoleh dari perjalanan ulama Nusantara. Semoga.