Teror Tak Kasat Mata: Menghadapi Virus Ideologi yang Menginfeksi Nalar Siswa

Teror Tak Kasat Mata: Menghadapi Virus Ideologi yang Menginfeksi Nalar Siswa

- in Narasi
4
0
Teror Tak Kasat Mata: Menghadapi Virus Ideologi yang Menginfeksi Nalar Siswa

Kita sedang berada di fase sejarah di mana “ruang aman” adalah sebuah kemewahan yang nyaris punah. Dulu, orang tua percaya bahwa menjauhkan anak dari jalanan dan mendudukkan mereka di dalam kamar atau ruang kelas adalah jaminan keselamatan. Kini, asumsi itu runtuh.

Propaganda ekstremis telah bermetamorfosis. Ia tidak lagi tersentralisasi pada satu kelompok atau satu situs web gelap yang sulit diakses. Propaganda hari ini terdesentralisasi, menyusup lewat notifikasi di saku celana siswa, lewat meme yang mereka tertawakan di grup WhatsApp, hingga lewat game online yang mereka mainkan sepulang sekolah. Narasi ini menyebar tanpa permisi, menembus tembok sekolah dan dinding rumah.

Yang lebih mengkhawatirkan, wajah ekstremisme ini tidak selalu memakai “baju agama” yang kaku. Ia kini tampil lebih cair, berkedok isu SARA, xenofobia (kebencian terhadap orang asing), dan chauvinisme (nasionalisme sempit yang agresif). Ini adalah racun yang sama, namun dengan kemasan berbeda, yang perlahan merusak fondasi kebangsaan kita.

Survei Pusat Media Damai (PMD) terhadap Sekolah Damai pada tahun 2024 menyodorkan fakta yang mencoreng wajah pendidikan kita. Data menunjukkan sebuah tren yang meresahkan: anak-anak sekolah kita cenderung memiliki ketertarikan pada konten kekerasan yang berseliweran di media sosial.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai adanya kecenderungan meningkatnya radikalisasi online yang menyasar anak muda. Ia berwujud dalam konsumsi konten tawuran, aksi provokasi, hingga apa yang disebut sebagai gamifikasi kekerasan, di mana kekejaman dikemas seolah-olah hanyalah sebuah permainan yang memacu adrenalin. Ketika kekerasan dinormalisasi sebagai hiburan, maka ambang batas toleransi mereka terhadap kekejaman di dunia nyata akan menurun drastis. Ini adalah sinyal kerentanan psikologis dan sosial yang sangat serius.

“Kami mencatat adanya pola di mana beberapa jaringan terorisme di Indonesia merekrut anak-anak muda lewat media sosial termasuk game online,” ujar Kepala BNPT Eddy Hartono yang dikutip dari detik.com pada Kamis, 13 November 2025.

Merespons fenomena ini, institusi pendidikan harus berbenah. Tidak hanya mengejar skor akademik tinggi dan mencetak manusia yang sekadar “cerdas” secara kognitif, namun berfikir keras untuk membangun karakter siswa yang memiliki kepekaan terhadap nilai nilai kemanusiaan dan beradab. Kecerdasan tanpa nilai kemanusiaan dan adab yang baik di era digital hanya akan melahirkan penjahat siber yang lihai.

Namun, Kita tidak bisa menuntut siswa memiliki literasi digital dan daya tahan terhadap propaganda jika gurunya gagap menghadapi realitas digital siswa. Para guru dan tenaga pendidik juga harus bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Tentunya, pemanfaatan teknologi dapat menjadi katalisator untuk meningkatkan kecerdasaan kognitif siswa. Namun hal ini membutuhkan koridor etika yang kuat.

Di sinilah peran guru menjadi tak tergantikan oleh mesin. Guru bertugas membangun pondasi etika yang kuat. Tanpa koridor etika, teknologi tidak lagi menjadi alat pembebasan, melainkan penjara baru yang memfasilitasi kebencian, intoleransi, dan dehumanisasi. Teknologi boleh membuat segalanya menjadi lebih cepat dan mudah, tetapi ia tidak boleh menggerus rasa hormat dan integritas.

Selain itu, guru perlu dibekali kemampuan untuk mendeteksi bibit-bibit radikalisme gaya baru di kelas. Mereka harus mampu membuka ruang dialog yang demokratis ketika isu-isu sensitif muncul, bukan malah menghakimi dengan otoritas kaku yang justru membuat siswa mencari jawaban liar di internet. Guru harus menjadi “influencer” tandingan yang menyebarkan narasi positif dan inklusif di dalam sekolah.

Namun, guru tidak bisa bekerja sendirian. Sekolah harus membangun ekosistem pendidikan yang inklusif. Lingkungan sekolah harus didesain untuk merayakan perbedaan, bukan menyeragamkannya. Ketika seorang siswa merasa diterima, dihargai, dan memiliki rasa kepemilikan (sense of belonging) yang kuat terhadap komunitas sekolahnya, maka narasi ekstremis tidak akan laku.

Para siswa harus dilatih untuk tidak sekadar menjadi konsumen pasif yang “memakan” apa saja yang disajikan algoritma, melainkan menjadi agen aktif perdamaian. Sekolah harus menjadi laboratorium di mana siswa belajar membedakan antara kehidupan nyata dengan personalisasi digital semu, antara kritik dengan ujaran kebencian, dan antara berita dengan propaganda.

Facebook Comments