Kita hidup di zaman yang oleh sosiolog Manuel Castells disebut sebagai Network Society, sebuah jejaring sosial yang dibangun di atas fondasi teknologi informasi. Dalam pusaran ini, lahir dua generasi; Gen Z dan Gen Alpha yang tak pernah mengenal dunia tanpa layar sentuh dan koneksi nirkabel. Mereka bukan sekadar pengguna, melainkan native speakers dari bahasa digital.
Namun, di balik kemudahan akses yang menjanjikan utopia pengetahuan, tersembunyi sebuah paradoks etis dan tantangan sosiologis yang mendalam: bagaimana kita memperkuat literasi dan resiliensi digital mereka agar tidak menjadi Homo Sapiens yang tercerabut dari akarnya, tenggelam dalam riuh notifikasi dan kebohongan terstruktur?
Filsuf abad ke-17, René Descartes, mengajukan diktum fundamental, “Cogito ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada). Namun, bagi Gen Z dan Gen Alpha, diktum ini seolah bermetamorfosis menjadi “Kami berinteraksi digital, maka kami ada”. Eksistensi diri mereka tak terpisahkan dari representasi virtual. Di sinilah bahaya ilusi realitas (simulakra) muncul, sebagaimana dikritisi oleh Jean Baudrillard. Realitas yang disajikan algoritma seringkali lebih nyata, lebih menarik, dan lebih instan daripada realitas sesungguhnya.
Tugas pertama literasi digital adalah membimbing mereka untuk kembali kepada kejernihan filosofis: untuk membedakan antara informasi (data mentah), pengetahuan (informasi yang terproses), dan kebijaksanaan (pengetahuan yang teruji secara moral dan spiritual). Tanpa pembedaan ini, mereka hanya akan menjadi konsumen pasif dari “pengetahuan instan” yang dangkal dan mudah dimanipulasi.
Isu literasi dan resiliensi digital merangkum tiga tantangan besar:
Pertama, Kesenjangan Digital (Digital Divide) dan Modal Digital. Mengadopsi kerangka teori Pierre Bourdieu, akses terhadap teknologi dan kemampuan menggunakannya (literasi) adalah bentuk baru dari Modal Digital. Kesenjangan tidak hanya terletak pada akses perangkat keras, tetapi lebih dalam pada kemampuan kritis dan etis. Mereka yang hanya memiliki akses tetapi tanpa filter kritis akan mengalami anomi (Durkheimian anomie), yakni kondisi hilangnya norma sosial yang jelas di ruang digital. Mereka rentan terhadap cyberbullying, berita bohong, dan ekstremisme yang merusak kohesi sosial.
Kedua, Reproduksi Ketidaksetaraan Sosial. Media digital, alih-alih menjadi ruang demokratis murni, seringkali mereproduksi dan bahkan memperkuat ketidaksetaraan yang ada di dunia nyata, sebagaimana disoroti oleh Teori Konflik. Siapa yang mengendalikan platform, algoritma, dan narasi, dialah yang mengendalikan kekuasaan. Gen Z dan Gen Alpha harus dididik untuk menjadi agen perubahan, bukan korban dari struktur digital yang terpusat.
Ketiga, Resiliensi Mental dan Jati Diri. Fenomena validasi diri melalui jumlah likes atau views menciptakan kerapuhan psikologis. Resiliensi digital bukan hanya tentang tidak mudah tertipu, tetapi juga tentang kemampuan bangkit dari kegagalan digital dan menjaga batas antara identitas virtual dan identitas hakiki.
Di sinilah peran ilmu keagamaan menjadi krusial sebagai jangkar moral. Dalam perspektif Islam, misalnya, etika digital harus berlandaskan prinsip Tauhid (kesadaran bahwa teknologi adalah alat ciptaan, bukan Tuhan yang independen) dan Maslahah (kebaikan universal). Penggunaan teknologi harus bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, menjauhi Mafsadah (kerusakan), termasuk penyebaran fitnah (hoax), ghibah (pergunjingan), dan namimah (adu domba) yang kini menyebar lewat jari.
Konsep Uswah Hasanah (teladan yang baik) menuntut agar generasi ini mempraktikkan etika digital yang luhur. Rasulullah mengajarkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” Di dunia digital, ini berarti “Jempol adalah mulut”. Setiap unggahan, komentar, dan share adalah refleksi dari integritas diri, yang dicatat di “buku amal” digital dan spiritual.
Menguatkan literasi dan resiliensi digital Gen Z dan Gen Alpha bukanlah proyek teknis semata, melainkan proyek kemanusiaan yang mendalam. Kita harus memindahkan fokus dari sekadar kemampuan teknis (menggunakan aplikasi) ke Literasi Kritis (mempertanyakan sumber, bias, dan tujuan di balik aplikasi).
Kita prlu menyerukan sebuah gerakan pengajaran yang menanamkan kesadaran bahwa mereka adalah pewaris kearifan masa lalu dan perancang etika masa depan. Jangan biarkan mereka menjadi generasi yang kaya data tetapi miskin hikmah. Resiliensi sejati lahir dari kesadaran bahwa badai algoritma akan selalu datang, tetapi jiwa yang berpegang pada nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang (yang diajarkan oleh semua agama) akan selalu menemukan dermaga. Masa depan peradaban digital bukan ditentukan oleh kecepatan koneksi, melainkan oleh kekuatan karakter generasi yang memegang kendali atas kecepatan itu. Mereka harus menjadi arsitek digital yang bijak, bukan sekadar operator yang patuh.
