Dalam konteks puasa di bulan suci Ramadhan. Selama 30 hari kita diperintah agar bisa menahan hawa nafsu. Tentu, hawa nafsu yang dimaksud bukan hanya perkara biologis, tetapi juga perkara hawa nafsu teologis.
Hawa nafsu teologis, atau hawa nafsu beragama adalah “hasrat diri” memanfaatkan agama sesuai dengan kemauan dan kepentingan dirinya sendiri. Seperti membenarkan kezhaliman mengatasnamakan agama demi tujuan-tujuan seperti politik/kekuasaan.
Jadi, islamophobia itu tumbuh karena ulah umat dalam beragama ketika dipenuhi dengan hawa nafsu. Maka, di sinilah pentingnya memerangi islamophobia, yakni dengan mereduksi akarnya. Sebagaimana, ada 3 esensi puasa yang dapat mereduksi akar-akar islamophobia itu sendiri.
Pertama, puasa sebagai medium dalam memerangi hawa nafsu merasa paling benar, utamanya dalam beragama. Sifat/sikap/perilaku merasa paling benar dalam beragama adalah “akar” dari munculnya Islamophobia itu sendiri. Mengapa? karena menganggap mereka yang berbeda agama itu keliru, sesat, tak benar dan bahkan dianggap kelompok yang perlu dibinasakan dengan dalih “memerangi orang kafir”.
Taraf hawa nafsu dalam beragama merasa paling benar inilah yang memunculkan perilaku/tindakan intolerant, radikal dan bahkan membenarkan kezhaliman. Seperti dalam serangan teror bom bunuh diri 9/11 yang telah menjadi “narasi legitimasi” bahwa Islam kini dipandang agama kekerasan, agama zhalim dan di sinilah menjalarnya islamophobia.
Jadi, di sinilah pentingnya bagi kita untuk menjembatani puasa Ramadhan agar bisa mereduksi hawa nafsu merasa paling benar dalam beragama. Kita harus berpuasa (menyucikan diri) dari hal-hal yang berkaitan dengan “merasa paling benar” itu. Agar, tumbuh kesadaran diri yang lebih egalitarian, cenderung tolerant dan penuh kasih-sayang terhadap mereka yang berbeda keyakinan.
puasa Ramadhan selama 30 hari diajarkan agar kita banyak merenung dan sadar dengan kesadaran yang bijaksana.
Secara esensial, segala rasa lapar dan rasa haus adalah imajinasi (interaktif kebatinan). Agar kita bisa melihat bagaimana rasa lapar da rasa haus yang dialami oleh saudara/I kita yang di luaran sana, hingga munculnya rasa empati.
Munculnya rasa empati sosial dapat menumbuhkan yang namanya kesadaran akan keberadaan orang lain, utamanya dalam beragama. Sehingga, tumbuh kesadaran di dalam memahami sekaligus merasakan apa yang dialami/dirasakan orang lain.
Empati beragama dapat memunculkan rasa tolerant yang begitu kuat. Karena munculnya kesadaran untuk saling memberi hak beragama dengan kesadaran yang sama. Sehingga, paradigma demikian dapat menjadi jalan untuk mengeliminasi akar islamophobia yang kerap membunuh segala rasa empati sosial dengan perilaku zhalim berdalih agama.
Ketiga, spiritualitas puasa sebagai media kampanye memerangi perilaku diri yang egois penuh dengan kebencian. Sebagaimana, perilaku egoisme yang dipenuhi kebencian kerap meracuni diri sendiri yang tak pernah menerima kebaikan dan kebenaran di luar dirinya. Selalu menuntut agar orang lain menerima, meyakini dan harus masuk ke dalam apa yang dirinya anggap benar.
Hal demikian adalah akar dari Islamophobia yang harus direduksi dan perlu diperangi lewat rahmat puasa Ramadhan. Karena segala bentuk pemaksaan kehendak akan membuat di luar dirinya seperti sesuatu yang harus dihilangkan dengan penuh kebencian. Egoisme tak akan pernah menerima kenyataan sosial.
Maka, puasa di bulan suci Ramadhan adalah momentum (bersih-bersih diri) dari egoisme penuh kebencian itu. Menghadirkan jati diri yang suci secara spiritual agar lebih inklusif dan menjadikan standar (kasih-sayang) sebagai nilai moral dalam menyikapi kehidupan sosial. Sehingga, puasa kita dapat berkontribusi di dalam memerangi islamophobia yakni dengan memerangi akarnya.