Gaya dakwah Nusantara adalah dakwah yang merangkul, bukan memukul. Dakwah yang dilakukan dengan penuh kasih sepenuh hati, bukan dengan caci maki. Dakwah yang disampaikan dengan ramah, bukan dengan teriak-teriak penuh amarah. Dan dakwah yang menonjolkan kasih sayang, bukan mengajak perang dengan menghunus pedang.
Gaya dakwah semacam itu, sudah menjadi tren dakwah di Nusantara beratus-ratus tahun lamanya. Tren tersebut dibawa oleh para penyebar Islam di Nusantara yang terkenal dengan nama Wali Songo. Ya, sembilan wali itulah yang sukses mengislamkan Nusantara tanpa pertumpahan darah. Membuat wilayah yang masyarakatnya beragama mayoritas Hindu-Budha, perlahan beralih ke Islam. Efek gaya dakwah tersebut bahkan terasa hingga kini, agama Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia! Luar biasa bukan?
Para Wali Songo yang berdakwah di tanah Nusantara ini menggunakan cara-cara yang tidak biasa, alias berbeda. Mereka sama sekali tidak menjelek-jelekkan agama yang sudah lebih ada. Mereka juga tidak mengkafirkan para penduduk yang belum memeluk Islam. Pun, mereka juga tidak mengacungkan pedang untuk membuat masyarakat Nusantara mengucapkan syahadat. Terakhir, mereka juga tidak memprovokasi pengikutnya untuk memerangi masyarakat yang berbeda agama.
Sebaliknya, mereka berdakwah dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif. Sebuah kreasi dakwah yang bisa dibilang paling maju di zamannya. Sebagai contoh, sebut saja kreasi yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Gaya dakwahnya sinkretis dan adaptif. Ia menggunakan seni budaya sebagai media penyebar Islam. Ia dengan kreatif memasukkan nilai-nilai agama Islam ke dalam seni budaya yang sudah ada dan digemari masyarakat Jawa, seperti wayang dan tetembungan (nyanyian).
Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongomenyebutkan bahwa kemahiran Sunan Kalijaga dalam seni budaya meliputi pewayangan, tembang macapatan, syair, dongeng keliling, penari topeng dan perancang busana. Sunan Kalijaga juga merupakan dalang kondang yang malang melintang dalam dunia pentas pewayangan. Ia menggunakan banyak nama ketika menjadi dalang, misalnya Ki Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung dan lain sebagainya.
Selain Sunan Kalijaga, ada juga Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shodiq yang berdakwah dengan arif dan bijaksana. Ia melarang murid-muridnya untuk menyembelih sapi demi menghormati masyarakat Hindu. Sebab, sapi adalah hewan yang disucikan dalam agama Hindu.
Kebijaksanaan dari Sunan Kudus tersebut akhirnya malah banyak menarik warga Hindu di Kudus untuk memeluk Islam. Berkat kebijaksanaan tersebut, Sunan Kudus sukses mengislamkan masyarakat Kudus tanpa perang. Hingga hari ini, meski masyarakat Kudus mayoritas sudah beragama Islam, larangan untuk menyembelih sapi dari Sunan Kudus tersebut masih berlaku. Jika berkunjung di Kudus, kalian tidak akan menemukan soto sapi, yang ada soto kerbau.
Teladan
Selain Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, masih banyak lagi para wali yang menyebarkan Islam dengan penuh kasih sayang di bumi Nusantara ini. Tentu, strategi dakwah yang sudah terbukti sukses tersebut patut untuk dijadikan teladan bersama. Para Wali Songo sudah menunjukkan konsep paradigma dakwah Islam di Nusantara dengan apik. Bahwa berdakwah tidak melulu harus kasar dan keras. Buktinya, tanpa pedang dan tanpa menumpahkan darah, mereka mampu mengislamkan masyarakat Nusantara.
Gaya dakwah para walisongo sudah seharusnya dijadikan oleh acuan bagi para dai di negeri ini. Apalagi, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang plural alias bermacam-mamcam. Sungguh, sangat kontra produktif apabila para dai berdakwah dengan memusuhi apalagi mengkafirkan pemeluk agama lain. Jika dakwah semacam itu terjadi, endingnya bisa ditebak: munculnya konflik antar pemeluk agama! Dan itu sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain rentan terjadi konflik, gaya dakwah semacam itu tidak akan berhasil. Yang ada, para pemeluk agama lain akan takut dengan Islam. Bagaimana tidak takut? Jika yang keluar dari lisan para dai adalah kata-kata kasar semacam, “perangi”, “penggal kepala”, “halal darahnya” dan berbagai kata kasar lainnya. Alih-alih tertarik dengan Islam, pemeluk agama lain akan ketakutan. Muncullah kemudian Islamophobia. Bukan menguntungkan, malah merugikan bukan?
Oleh karenanya, sudah saatnya membumikan kembali paradigma dakwah Nusantara ala Para Wali Songo. Para dai harus sadar bahwa gaya dakwah Wali Songo yang santun dan merangkul adalah strategi yang pas digunakan di negara Indonesia. Sementara cara-cara dakwah yang kasar dan beringas akan selalu ditentang oleh banyak pihak dan cenderung memunculkan konflik.
Bukan hanya dai, pemerintah sebagai penentu kebijakan juga harus bertindak tegas terhadap para dai yang menyebarkan provokasi atas nama Islam dan atas nama dakwah. Tidak perlu takut untuk mengingatkan mereka. Sebab, provokasi yang mereka lakukan sangat membahayakan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Jangan sampai, mereka semakin berani dan merasa di atas angin karena tidak ada sanksi tegas dari negara. Akhir kata, para wali songo sudah mengajarkan, saatnya bangsa ini melanjutkan.