Indonesia bukanlah sekadar nama di atas peta; ia adalah sebuah naskah rumit yang ditulis oleh takdir Tuhan, disusun dari ribuan pulau, ratusan etnis, dan beragam keyakinan yang saling menatap. Dalam filsafat sosial, keberagaman ini sering disebut sebagai pedang bermata dua: ia bisa menjadi mozaik terindah peradaban manusia, atau sebaliknya, menjadi retakan yang menghancurkan struktur bangunan bangsa.
Dalam membahas keberagaman ini, kita sering mendengar istilah “Masyarakat Madani”. Istilah ini kerap meluncur di seminar-seminar atau pidato politik, namun sering kali kehilangan rohnya. Padahal, jika kita mau duduk sejenak dan merenung, konsep ini adalah kunci emas untuk membuka pintu masa depan Indonesia.
Secara etimologis, “Madani” berakar dari kata Madinah (kota) dan Tamaddun (peradaban). Namun, akarnya jauh lebih dalam dari sekadar bangunan fisik atau kota metropolitan. Konsep ini merujuk pada tatanan sosial yang pernah dibangun Nabi di Madinah, bukan sebagai negara teokrasi yang kaku, melainkan sebagai sebuah kesepakatan sosial (social contract). Piagam Madinah adalah bukti jenius bagaimana komunitas Yahudi, Nasrani, Muslim, dan Pagan bisa hidup di bawah satu payung hukum yang setara, saling melindungi, dan saling menghormati hak sipil.
Inilah esensi yang sering kita lupakan. Menjadi masyarakat Madani dalam tubuh Indonesia yang beragam bukan berarti menyamakan semua warna menjadi satu warna abu-abu. Itu mustahil dan menyalahi sunnatullah (hukum alam). Menjadi Madani berarti memiliki kematangan intelektual dan spiritual untuk berkata: “Aku memegang teguh kebenaranku, namun aku menghormati keberadaanmu dan hakmu untuk memegang kebenaranmu.”
Namun, tantangan terbesar kita hari ini adalah matinya dialektika di ruang publik. Kita hidup di era di mana “benar” dan “salah” ditentukan oleh seberapa keras teriakan kita di media sosial, bukan oleh kedalaman argumen atau ketulusan hati. Seorang filsuf pernah berkata bahwa musuh terbesar peradaban bukanlah kebencian, melainkan hilangnya nalar kritis dan empati.
Dalam konteks keindonesiaan, menjadi manusia yang “Madani” menuntut kita untuk mengaktifkan dua sayap sekaligus: nalar dan nurani.
Pertama, Nalar. Kita harus cukup cerdas untuk membedakan antara ajaran agama yang suci dengan tafsir manusia yang bias. Kita harus cukup bijak untuk melihat bahwa perbedaan politik atau suku hanyalah kulit luar, sementara di dalamnya mengalir darah merah yang sama. Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang menjadi Madani jika ia masih terpenjara dalam fanatisme buta. Orang yang berwawasan luas akan selalu rendah hati, karena ia tahu betapa luasnya samudra ilmu Tuhan dibandingkan cangkir pemahamannya yang kecil.
Kedua, Nurani (Etika). Peradaban tidak dibangun oleh beton-beton yang kokoh, tetapi oleh adab yang terpuji. Dalam tradisi ketimuran dan Islam, puncak dari ilmu adalah adab. Bagaimana kita memperlakukan tetangga yang berbeda rumah ibadah, bagaimana kita menahan jari untuk tidak mengetik ujaran kebencian, dan bagaimana kita mendahulukan kewajiban sosial daripada menuntut hak pribadi—itulah ujian kemadanian yang sesungguhnya.
Maka, untuk menjadi masyarakat Madani di Indonesia, kita tidak perlu menunggu instruksi pemerintah. Ia dimulai dari resolusi diri sendiri.
Mulailah dengan berhenti melihat “yang lain” (the other) sebagai ancaman. Lihatlah perbedaan sebagai cara Tuhan memperkaya pengalaman kita menjadi manusia. Jadilah warga negara yang taat hukum bukan karena takut polisi, tapi karena sadar bahwa ketertiban adalah prasyarat keadilan. Jadilah religius tanpa harus menjadi beringas; jadilah modern tanpa kehilangan akar tradisi.
Indonesia adalah sebuah eksperimen peradaban yang luar biasa. Jika kita mampu menjahit keberagaman ini dengan benang kearifan dan persaudaraan, kita tidak hanya akan menjadi negara maju, tetapi kita akan menjadi mercusuar bagi dunia yang sedang sakit karena perpecahan. Bisa menjadi kiblat peradaban bagi mereka yang mengalami konflik.
Mari kita merawat Indonesia, bukan dengan urat leher yang tegang, melainkan dengan kejernihan akal dan kelembutan hati. Sebab, pada akhirnya, kita semua hanyalah musafir yang berteduh di bawah langit yang sama.
