Potret Ulama Sejati: Menjaga NKRI, Taat Konstitusi

Potret Ulama Sejati: Menjaga NKRI, Taat Konstitusi

- in Narasi
1446
0
Potret Ulama Sejati: Menjaga NKRI, Taat Konstitusi

Peran ulama sangat penting dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sebab, ulama adalah pembimbing umat sekaligus teladan bagi umat. Oleh karena itu, dalam konteks kebangsaan, pesan-pesan dakwah yang menyejukkan dan taat konstitusi harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam sosok ulama. Semua itu tentu saja demi utuhnya NKRI.

Harud disadari nan diakui bahwasannya, idealitas seringkali berbeda denga realitas. Hal ini juga terjadi pada ranah dinamika gerakaan keagamaan. Hingga saat ini, suka tidak suka dan mau tidak mau, kita harus jujur mengatakan bahwa masih ada orang atau kelompok yang berhaluan ekstrem di negeri ini. Diantara indikasinya adalah tidak mau mengakui Pancasila sebagai ideologi bangsa, suka mengkafirkan kelompok lain hanya karena beda pandangan, gemar melakukan provokasi, ‘kerjaannya’ memecah-belah masyarakat, tidak taat atau patuh pada konstitusi dan masih banyak lainnya.

Kelompok itu kerap mengutip sebuah ayat dan hadis serta menjadikan embel-embel ulama untuk menentang konsensus bangsa. Namun yang mereka kutip hanya yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Padahal, dalam konteks nasionalisme misalnya, ada suatu riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad, adalah seorang nasionalis. Hal ini terlihat dari sabda beliau: “Demi Allah, engkau (kota Mekah) adalah bumi Allah terbaik dan kota yang paling dicintai Allah. Kalau saja aku tidak diusir oleh penduduk setempat, aku tidak tega meninggalkanmu,” (HR. Timrizi).

Menjaga bangsa agar tercipta sebuah ketertiban, perdamaian, keharmonisan dan rukun antar semua elemen bangsa adalah tugas ustadz. Dengan demikian, mengupas wawasan kebangsaan yang dibungkus sedemikian rupa dalam bentuk ceramah keislamanan di media sosial misalnya, merupakan salah satu kemuliaan bahkan tuntutan agama yang harus dilakukan oleh ustadz medsos.

Waspada!

Sekarang ini kita mudah sekali menemukan sosok yang memiliki label mentereng seperti ustadz, justru ia gemar merong-rong keutuhan bangsa Meng-olok-olok pemerintah, menebar benih permusuhan, menentang Pancasila—dianggap tidak Islami, dan sejenisnya.

Secara singkat, setidaknya ada beberapa fenomena yang cukup menggelitik yang terjadi pada sebagian ustadz pada hari ini;

Pertama, membela agama, tapi tidak sesuai dengan spirit agama itu sendiri. Awalnya, segenap umat Islam tergetuk pintu hatinya karena digerakkan oleh sekelompok yang berkoar-koar membela agama. Walhasil, terciptalah suatu gerakan membela agama. Awalnya memang sakral, namun semakin ke sini, semakin menunjukkan bahwa semua itu mengarah pada kepentingan pragmatis kelompok tertentu saja.

Bayangkan saja, bergerak atas dasar agama, namun meng-kafirkan orang yang sama-sama mengucap syadat dan menunaikan shalat. Sekali lagi, hanya karena beda pandangan dalam aspek tertentu saja. Anehnya lagi, kelompok ini, sebagian besar “dihuni” oleh ulama, tetapi kok fanatik banget.

Ulama kenamaan, yakni Imam Az-Zuhri, yang juga dikenal sebagai salah seorang pionir dalam penulisan hadis-hadis Nabi, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, pada suatu ketika ditanya oleh orang tentang fanatisme. Beliau menjawab: “Ia adalah yang memandang orang-orang (lain) buruk dan kelompoknya lebih baik ketimbang orang-orang baik dan kelompok lain.”

Ini menunjukkan bahwa fanatisme yang tidak ketulungan akan menjadikan suatu perbuatan yang awalnya baik, ingin membela agama misalnya, akan berakhir pada sebuah kondisi yang sebaliknya. Dan yang demikian itu mudah sekali kita jumpai di beranda-beranda media sosial.

Kedua, selalu mencari borok pemerintah. Dalam kondisi tertentu, juru dakwha atau da’i itu bisa menjadi mitra sekaligus pengkritik pemerintah. Karena memang fungsi ulama/ustadz adalah demikian. Ia tidak hanya menyampaikan materi keagamaan sementara ada kedzaliman yang dilakukan pemerintah, lalu ia berkawajiban meluruskan atau mengingtakannya.

Namun perlu diperhatikan pula bahwa mengkritik pemerintah bukan berarti mencari-cari borok pemerintah. Ini adalah dua hal yang berbeda. Kalau memberikan masukan kepada pemerintah, maka disampaikan dengan baik dan melalui mekanisme yang ada dan didasari atas sikap yang bermartabat. Sementara, mencari borok pemerintah adalah mencari-cari kesalahan pemerintah lalu menggoreng kesalahan tersebut. Bukan hanya pemerintah yang diserang, melainkan juga personal yang dijadikan sasaran. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan rasa benci. Dan inilah yang berbahaya dan harus ditertibkan.

Ketiga, menciptakan kondisi bahwa umara tidak pro dengan ulama. Umat mana yang tidak marah ketika pemimpin dan panutannya dikriminalisasi oleh negara? Persoalan ini memang sensitif dan sangat mudah menyulut emosi umat.

Narasi-narasi bahwa pemerintah mebredeli ulama yang kritis yang ditandai dengan penangkapan beberapa oknum da’i digoreng sedemikian rupa melalui kanal-kanal media sosial dan mimbar khutbah. Akhirnya umat menaruh rasa tidak percaya kepada pemimpinnya.

Memang, kondisi pemerintah yang mempersekusi ulama pernah terjadi dalam lintasan sejarah nusantara. Bahkan akhir-akhir ini, pemerintahan Arab Saudi menangkap beberapa ulama yang dianggap telah melakukan kampanye mengkritik kebijakan pemerintah. Namun dalam konteks Indonesia saat ini, justru suara-suara bahwa pemerintah tidak pro terhadap ulama dan ulama dihembuskan oleh kelompok yang menginginkan negeri ini hancur.

Keempat, menentang hukum atau peraturan yang mengandung kepentingan publik. Sekalipun gelar ulama itu memiliki kemulyaan di hadapan manusia, namun bukan berarti seorang ulama bisa ‘seenaknya’ saja, seperti tidak taat konstitusi. Justru ulama itu harus taat kepada konstitusi selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental agama.

Bukan sikap religius jika seorang ulama memanipulasi agama untuk kepentingan menentang peraturan yang telah menjadi konsensus bersama yang didasarkan atas pertimbangan matang, yakni keteraturan dalam kehidupan. Menjadi ulama itu berarti harus bisa memainkan peran secara proprorsional, yakni menjadi muslim taat sekaligus menjadi warga negara yang baik dan taat hukum.

Facebook Comments