Dalam etimologi Bahasa Arab, kata shiyam diartikan sebagai meninggalkan makan dan minum serta berbagai hal yang membatalkan puasa melalui lubang yang ada di tubuh sejak imsak hingga magrib. Itulah tingkatan paling dasar dari puasa Ramadan. Yakni puasa yang hanya sekadar menahan lapar, haus dan nafsu seksual.
Di atasnya lagi ialah shaum yakni berpuasa yang tidak hanya sekadar meninggalkan makan, minum dan berhubungan suami-istri namun juga mencegah hawa nafsu (imsakik hawain nafs). Antara lain menahan lisan dan jemari dari menyebarkan berita bohong, fitnah, adu domba, provokasi dan kebencian, baik di dunia nyata maupun maya.
Juga mencegah pikiran dan perilaku kita dari persepsi dan perilaku negatif yang berpotensi mengotori kesucian Ramadan. Ramadan idealnya dinikmati sebagai sebuah momen yang hening, jernih dan khusyuk sehingga umat bisa mendekatkan diri pada Allah tanpa ada distraksi alias gangguan.
Transformasi umat dari perilaku shiyam ke shaum ini sangat penting dipraktikkan oleh umat Islam. Terlebih saat ini, umat Islam termasuk di Indonesia tengah menghadapi gelombang masifnya penyebaran hoaks, kebencian dan provokasi di kanal-kanal maya. Hoaks, kebencian dan provokasi di kanal maya sebagai residu dari disrupsi digital telah melahirkan berbagai persoalan.
Di satu sisi, semburan berita palsu, fitnah kebencian dan provokasi kekerasan telah memecah belah bangsa dan merusak atmosfer kerukunan yang selama ini kita jaga dengan susah payah. Di sisi lain, residu dunia digital itu juga telah menyebabkan masyarakat hidup dalam alam kecurigaan, ketakutan dan kecemasannya masing-masing. Kondisi ini jelas tidak ideal bagi bangsa yang multikultur dan multireliji seperti Indonesia.
Di tengah keberagaman suku, agama dan ras di Indonesia, fenomena penyebaran hoaks, provokasi dan kebencian merupakan hal yang harus diwaspadai. Jika disikapi secara permisif, bukan tidak mungkin akan pecah konflik sosial-sektarian yang mengancam keutuhan bangsa. Maka, kita tidak bisa menganggap enteng ucapan atau tulisan yang menjurus pada kebohongan, adu domba dan kebencian. Oleh karena itu, di bulan Ramadan ini ada hal yang lebih penting dari sekadar menahan lapar dan haus, yakni menahan lisan dan jemari kita agar tidak menyebarkan dan terjebak pada arus hoaks, kebencian dan provokasi.
Mengutip pendapat Quraisy Shihab, perkataan buruk itu terbagi menjadi dua. Yakni ucapan buruk yang mengandung kebenaran dan ucapan buruk yang tidak mengandung kebenaran. Ucapan buruk namun benar dinamakan sebagai ejekan atau cemoohan. Sedangkan ucapan buruk yang tidak benar akan jatuh pada fitnah. Keduanya sangat dilarang dalam Islam, terlebih pada momen bulan suci Ramadan.
Kita acapkali bisa menghindari fitnah, namun acapkali sulit mencegah ucapan yang bertendensi mengejek atau mencemooh. Apalagi di media sosial, ketika komunikasi publik dilakukan secara terbuka dan cair dimana semua orang bebas berpendapat, berkomentar dan beropini atas sebuah isu. Kehendak untuk berkata buruk itu kian tidak terbendung.
Mengaktualisasikan Makna Shaum
Maka dari itu, penting untuk benar-benar menyelami dan mengaktualisasikan makna shaum di momen bulan Ramadan ini. Bagi orang dewasa, aktivitas shiyam barangkali merupakan perkara ringan. Namun, tidak halnya dengan laku shaum yang membutuhkan komitmen dan keseriusan untuk menjaga lisan, akal dan pikiran dari kebohongan, perpecahan dan provokasi.
Dengan mengaktualisasikan makna shaum secara sungguh-sungguh, kiranya kita bisa menjadikan Ramadan sebagai momentum kerohanian untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs). Ramadan kiranya juga bisa menjadi momentum perbaikan diri demi menjadi insan kamil, alias manusia mulia. Yakni insan yang senantiasa menjaga mulut, akal dan hatinya dari ucapan, pikiran dan perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Arkian, transformasi dari shiyam ke shaum idealnya tidak hanya terjadi pada level kebahasaan. Lantaran pada dasarnya secara etimologis keduannya memiliki makna yang sama, yakni menahan diri. Transformasi shiyam ke shaum ini hendaknya terjadi pada tataran filosofis, psikologis sekaligus sosiologis. Shiyam kiranya lebih berkutat pada aspek biologis; makan, minum dan berhubungan seksual.
Sedangkan shaum memiliki cakupan yang lebih luas dari itu, meliputi aspek psikologis, filosofis dan sosiologis. Dalam konteks psikologis, shaum ialah sarana membersihkan jiwa dari penyakit ruhani, seperti iri, dengki, benci dan sejenisnya. Dari sisi filosofis, shaum merupakan sarana untuk menata kembali persepsi pikiran kita agar kembali jernih dan bisa melahirkan kebijaksanaan (wisdom). Sedangkan secara sosiologis, shaum ialah ajang membangun solidaritas sosial melalui penumbuhan sikap empati dan simpati terhadap sesama.