Sebentar lagi bulan Ramadhan akan ‘pergi’. Di akhir-akhir Ramadhan, terdapat ritual yang semua umat Islam wajib menunaikannya, yaitu zakat fitrah. Syari’at mewajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah di akhir pelaksanaan puasa syarat dengan hikmah, diantaranya sebagai cermin dari kebersihan jiwa yang telah mendapatkan fitrahnya dan meraih nilai kemanusiaan.
Jadi, tujuan zakat fitrah adalah untuk membersihkan diri dari dosa dan harta yang tidak halal serta untuk memberikan makan pada orang miskin. Hal ini sesuai hadis Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci orang berpuasa dari perbuatan dan perkataan keji (selama puasa), serta sebagai makanan pokok untuk orang-orang miskin” (HR. Abu Daud: 1609, dan Ibnu Majah: 1827).
Dari tujuan tersebut, kemudian lahir beberapa sikap atas kewajiban zakat fitrah, yakni meraih fitrah kemanausiaan diimplementasikan dengan menebar cintah kasih kepada sesama. Lebih detail lagi, makna zakat fitrah adalah membuang kotoran belenggu fitrah, seperti sifat kikir, gila harta dan takut mati karena cinta dunia. Sifat-sifat tercela dalam diri manusia seyogyanya akan sirna seiring dengan terlaksananya kewajiban membayar zakat fitrah.
Kepekaan sosial jelas terpatri sangat tebal dan kokoh dalam zakat fitrah. Bagaimana tidak. Dengan zakat fitrah, seseorang akan diingatkan bahwa jiwa manusia perlu dibersihkan dan harta yang dimiliki sesungguhya adalah milik Allah yang sudah semestinya digunakan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah Swt. Selain itu, juga mengandung arti bahwa harta yang dimiliki bukan sepenuhnya miliknya, karena diantaranya ada hak kaum fakir-miskin.
Zakat fitrah juga bermakna sebagai kemenangan orang yang berpuasa karena telah berhasil menjadi orang yang kembali fitrah (suci). Sebab, sifat bawaan manusia pada dasarnya adalah baik, suci dan hanya menyembah kepada Allah Swt. Namun, seiring berjalannya waktu yang menjadikan manusia berinteraksi dengan lingkungan dan berdinamika antar sesama, maka kadangkala menjadikan seseorang terkotori kesuciannya, sehingga menjadi penyembah berhala, berlaku atas nama agama namun sejatinya ia perusak agama yang sesungguhnya seperti kelompok radikalis-teroris.
Dengan kata lain, fitrah yang sejatinya adalah suci, seringkali ternodai oleh hiruk pikuk pergaulan, ambisi hidup dan dosa. Miris memang. Namun, kondisi seperti ini memang nyata adanya. Mereka sejatinya telah membelenggu fitrahnya sebagai manusia. Mengapa? Ya. Karena mereka lebih memberati dorongan nafsu, dorongan-dorongan untuk melakukan kejelekan, kekerasan dan kemaksiatan.
Dengan demikian, jika dikontekstualisasikan di era kekinian, sejatinya zakat fitrah tidak hanya sekedar sebagai penyucian diri dan harta serta meratakan kesejahteraan-keadilan, namun juga bisa dimaknai sebagai pembersih diri terhadap belenggu ideologi radikal yang kian hari kian gentayangan di mana-mana dan memangsa siapa saja di republik ini.
Nilai-nilai Anti Radikalisme-Terorisme dalam Zakat Fitrah
Dimensi lain dari zakat firtah inilah yang harus terus kita kawal. Sebab, kelompok radikalis-teroris selama ini yang membajak kedamaian dunia sehingga mencoreng Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu, jika kita telusuri lebih teliti dan dalam lagi, maka akan ditemukan beberapa nilai anti radikalisme-terorisme dari spirit zakat fitrah.
Pertama, melalui zakat fitrah, umat Islam akan terlatih untuk mempertajam kepekaan sosial dan menguatkan persaudaraan. Diantara orang yang berhak menerima zakat adalah fakir-miskin. Ini menunjukkan dimensi kemanusiaan dalam Islam yang jangkauannya melampui batas agama. Artinya, kepekaan sosial dalam puasa dan zakat firtah bukan karena sama-sama lapar dan merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam, tetapi erat kaitannya dengan derita kemanusiaan (Nafis, 2017).
Dari poin pertama ini, kita diajarkan untuk saling mengasihi, menghormati, menjungjung toleransi, hidup damai, adil dan ramah. Inilah beragama yang senantiasa harus kita tingkatkan agar dimensi kemanusiaan lebih kentara daripada selalu menimbang simbolisme ritual semata.
Nilai-nilai semacam ini sangat erat kaitannya dengan program menumpas paham radikal. Sebab, kelompok radikal sangat tidak menginginkan adanya harmoni kemanusiaan, toleransi dan saling mengasihi antar sesama. Yang ada di benak kelompok radikalis adalah Islam atau non-Islam saja (muslim atau kafir).
Kedua, mengikis egoisme dan menumbuhkan sikap kebersamaan. Salah satu ciri umum orang yang terpapar paham radikal adalah egois dan tidak mengenal perbedaan pendapat. Sulit baginya untuk menerima perbedaan pendapat (khilafiyah). Akibatnya, mereka selalu tampil dalam bentuk yang kaku, keras. Bahkan mereka seolah yang paling benar karena ideologi yang mereka pegang mengajarkan untuk mendominasi kebenaran dan menyalahkan yang tidak sepaham dengan mereka. Celakanya lagi, mereka juga fanatisme buta dan mengkultuskan tokoh kelompok mereka sendiri (Sarwat, 2019: 32).
Melalui ibadah zakat fitrah, segala bentuk sifat egoisme akan terkikis. Hal ini bisa terjadi karena dalam ketentuan zakat fitrah, terdapat nilai-nilai sosial. Harta yang dikira hasil keringat sendiri, ternyata semua itu terdapat hak orang lain. Kita tidak boleh egois sehingga sebagian harta itu harus disalurkan pada orang yang berhak. Di sinilah tercipta harmoni. Setidaknya dua nilai sebagaimana diuraikan di atas dapat menuntun seseorang yang terpapar paham radikal kembali ke jalan yang lurus; melepas belenggu ideologi yang menyimpang. Semoga!