Sering kali, sejarah Kemerdekaan Indonesia disampaikan kepada anak-anak oleh kelompok tertentu sebagai hasil perjuangan kelompoknya saja. Seolah-olah Indonesia bisa merdeka hanya karena hasil perjuangan dari pihaknya saja, tanpa ada peran dan kontribusi di luar kelompoknya.
Narasi “Indonesia tak akan merdeka tanpa ulama”, “Nusantara tak akan bebas dari penjajahan tanpa peran umat Islam”, “umat Islam sangat berjasa dalam memerdekakan Indonesia” dan baru-baru ini narasi bahwa perjuangan para perjuang kemeredekaan tak lepas dari sumbangsi khilafah usmaniyah –digembor-gemborkan.
Narasi seperti ini yang dikonsumsi para generasi bangsa, sebagai asset bangsa, anak-anak adalah tunas yang harus dirawat perkembangannya. Letak maju tidaknya suatu bangsa, tak lepas dari perkembangan anak-anak.
Pengaburan, penyelewengan, penyesatan bahkan penghilangan sejarah Indonesia menjadi strategi kaum radikal untuk memasarkan ideologi mereka. Sejarah bukan lagi kitab hidup yang penuh makna, melainkan alat legitimasi kelompok.
Dengan menegasikan konstribusi pihak lain, para kaum radikal itu mendaku sebagai kelompok paling berjasa dalam negeri ini. Narasi Islamlah yang paling berjasa dalam memerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan didoktrinkan kepada genarasi bangsa.
Bagi mereka, sebagai pihak yang paling berjasa, maka sudah sepantasanya Islam dijadikan dasar dan auturan dalam berbangsa dan bernegara. Toh, bukankah Islam itu yang paling berjasa? Narasi dan logika di atas dengan mudah kita temui di media sosial.
Bebas dari Radikalisme
Sudah bukan rahasia umum lagi, virus radikalisme tidak pandang usia lagi. Ia bisa –bahkan sudah menjadi tujuan utama –menyasar anak-anak. Anak-anak yang masih bersih dan polos, para remaja yang masih mencari identitas diri dengan mudah bisa diindoktrinasi untuk melakukan tindakan terorisme dengan iming-iming yang keliru.
Salah satu jalan masuk untuk mendoktrin anak dan generasi bangsa secara umum adalah melalui penyelewengan sejarah. Dalam konteks inilah, semua pihak, pemerintah dan terutama institusi keluarga harus terlibat aktif dalam memerdekakan anak dari virus radikalisme, dan terlibat aktif memberikan gambaran sejarah yang benar.
Orang tua, guru, dan sekolah harus terlibat akatif. Anak-anak yang terlibat dalam tindakan radikalisme merupakan korban dari lingkungan yang tidak kondusif. Bisa berupa keluarga, sekolah, tempat mengaji, atau teman dalam pergaulan.
Lingkungan yang damai dan menghargai sesama akan melahirkan generasi yang toleran dan bijak dalam mengelola perbedaan, sebaliknya, lingkungan yang cara pandangnya kaku, sempit dan menegasikan liyan, dengan sendirinya akan tumbuh menjadi anak-anak yang radikal, intoleran, dan tidak bisa menghargai perbedaan.
Keluarga sebagai sekolah pertama dan utama harus memainkan perang aktifnya. Orang tua harus memberikan pendidikan yang humanis, menanamkan nilai pancasila, dan budaya lokal yang arif nan bijaksana. Selain itu, menanamkan nasionalisme sejak dini, bahwa orang lain adalah kawan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yang harus dihormati dan dijaga martabat mereka.
Pendidikan agama juga harus jadi perhatian. Orang tua harus aktif memberikan ajaran agama yang toleran dan menghargai manusia lain. Orang tua harus bisa memilih tempat ngaji dan belajar agama bagi anak yang bisa menghargai kebhinekaan.
Sejak dini harus ditanamakan kepada anak-anak, bahwa dalam agama, membunuh satu orang seolah-olah membunuh seluruh manusia, dan menjaga hidup satu orang, sama dengan menghidupkan seluruh umat manusia.
Terperangkapnya anak-anak ke dalam radikalisme membuat pemerintah secara serius menanggapinya. Sebab, anak-anak yang berjumlah 79,6 juta pada tahun 2018 akan menjadi generasi penerus bangsa ini. Jika para bibit generasi ini dibiarkan terkapar virus radikalisme, apa yang bisa diharap dari mereka dalam menjaga persatuan dan kesatuan serta memajukan Republik ini.
Memaknai Kemerdekaan
Kemerdekaan artinya adalah kebebasan (freedom). Akan tetapi, untuk anak, kebebasan di sini tidak lagi kebebasan dari belenggu penjajah. Itu konsep kemerdekaan setengah abad lalu. Kemerdekaan bagi anak adalah kemerdekaan untuk bercita-cita, bermimpi setinggi langit, dan kebebasan mengekspresikan skill, bakat, kemampuan, hobby dan kesenangan masing-masing anak, tanpa terlalu banyak intervensi dari luar, termasuk orang tua.
Beda generasi, beda cara memaknai kemerdekaan. Dalam konteks dunia anak, kemerdekaan harus dimaknai sebagai kunci untuk memotivasi anak ke hal atau bidang yang ia sukai. Anak tak boleh diintervensi terlalu berlebihan, atau dipaksakan agar ia masuk sesuai dengan keinginan orang tuanya.
Tidak sedikit anak yang bakatnya menyanyi, tetapi karena orang tuanya sukanya jadi penghafal Quran, anak dipaksakan untuk jadi hafiz cilik. Banyak terjadi kasus, anaknya hobinya melukis, tetapi sebab orong tuanya lebih suka pada ilmu-ilmu eksak, anak dituntut agar les private ini dan itu, biar bisa ikut olimpiade. Di sini, anak tidak merasakan kemerdekaan.
Memaknai kemerdekaan lebih ramah anak adalah hal yang sangat urgen. Jangan sampai di tengah riak-riak dan gegap gempita perayaan kemerdekaan RI itu, masih banyak anak yang tidak bebas milih skill, kawan, tempat bermain, sekolah, dan sebagainya. Oring tua harus memberikan kemerdekaan pada anaknya sesuai dengan passion-nya masing-masing.
Kontekstualisasi Kemerdekaan
Hal yang sama juga terjadi pada perayaan 17-an. Permainan dan karnaval yang ditujukan kepada anak tidak melulu soal perang-perangan, mambawa senjata, pakaian tentara, meriam bambu, atau hal yang selau bersifat militeristik. Tidak. Anak harus diberikan permainan yang lebih kontekstual. Kontekstual bukan juga berarti menyingkirkan bentuk karnaval yang tadi, Cuma titik penekanan terhadap karnaval ala tradisi militeristik harus diminimalisir.
Drama, teater, pembacaan dan cipta puisi adalah sebagian kecil contoh yang bisa jadi opsi alternatif. Dengan drama, anak bisa memainkan peran tokoh bangsa; dengan teater anak bisa merasakan semagat para pendulum kita; dengan puisi anak bisa berimajinasi dan hanyut dalam dekapan nostalgia perjuangan para pahlawan kita.
Rekonstruksi makna kemerdekaan bagi anak harus digalakkan. Sebab di beberapa tempat –bahkan bisa jadi ciri utama –karnaval dan permainan anak masih memakai cara-cara lama yang kontekstual pada masa dulu, tetapi belum tentu cocok dengan saat sekarang. Permainan yang merangsang dan menumbuhkan perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak harus dimaksimalkan pada momen besar ini. Indonesia merdeka, anak-anak bangsa juga merdeka.