Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena keterampilan teknologinya, melainkan juga karena keberanian mereka menyuarakan ketidakadilan. Di berbagai belahan dunia, termasuk Nepal yang baru saja mengalami gejolak politik, anak-anak muda dari generasi ini tampil di garda depan, menolak status quo yang dianggap tidak lagi membawa keadilan bagi masyarakat. Suara mereka bergema, bukan hanya di jalanan, tetapi juga di media sosial yang mereka kuasai sepenuhnya.
Di Indonesia pun hal serupa terlihat jelas. Pada akhir Agustus lalu, ribuan Gen Z turun ke jalan, menyuarakan keresahan kolektif tentang ketidakadilan, dan memperkuat perlawanan mereka melalui unggahan, kampanye, serta diskusi di dunia maya. Fenomena ini menunjukkan bahwa Gen Z memiliki sensitivitas dan empati sosial yang sangat tinggi terhadap ketidakadilan. Namun, di balik kekuatan tersebut, terdapat kerentanan yang patut diwaspadai: potensi eksploitasi oleh kelompok radikal yang lihai menunggangi isu dan kekecewaan.
Gen Z tumbuh dalam iklim keterbukaan informasi yang luar biasa. Mereka terhubung dengan dunia internet sejak mereka kecil, mampu mengakses berbagai perspektif dengan cepat, dan memiliki kesadaran sosial yang lebih tajam dibandingkan generasi sebelumnya. Kepekaan ini merupakan modal besar bagi pembangunan demokrasi dan peradaban yang lebih manusiawi. Namun, kecepatan arus informasi juga menciptakan ruang rentan.
Algoritma media sosial yang memperkuat emosi, menyoroti ketidakadilan, dan memperuncing polarisasi sering kali membuat generasi ini terjebak dalam narasi yang dimanipulasi. Kelompok radikal, yang selalu mencari celah dalam situasi ketidakpuasan sosial, bisa memanfaatkan empati Gen Z sebagai pintu masuk untuk mengarahkan kemarahan mereka pada agenda yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebinekaan.
Tidak bisa dipungkiri, sejarah menunjukkan bahwa radikalisme sering kali berkembang di tengah masyarakat yang kecewa dan merasa diabaikan. Gen Z yang marah karena melihat ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan hukum, bisa dengan cepat tergoda oleh wacana instan yang menjanjikan solusi radikal. Mereka bisa diarahkan untuk mempercayai narasi “perubahan total” tanpa memahami konsekuensi panjang yang mungkin terjadi. Padahal, revolusi yang ditunggangi kelompok radikal justru sering berakhir dengan tirani baru, yang lebih menindas dan jauh dari cita-cita keadilan yang diinginkan.
Mengapa Gen Z menjadi sasaran empuk? Karena mereka memiliki energi besar, semangat melawan ketidakadilan, dan keberanian untuk bertindak. Mereka adalah agen perubahan yang siap mengguncang status quo. Namun, pengalaman mereka dalam menyaring informasi, memahami politik praktis, dan membaca agenda terselubung masih relatif terbatas. Kerentanan inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal, baik yang bergerak atas nama agama, ideologi, maupun kepentingan politik tertentu. Mereka pandai mengemas narasi, memanipulasi simbol, dan mereduksi kompleksitas masalah menjadi hitam-putih.
Semua itu dirancang untuk membelokkan sensitivitas dan empati Gen Z menjadi bahan bakar perlawanan yang tidak produktif. Untuk itu, menyelamatkan gerakan sosial Gen Z dari eksploitasi radikal adalah tugas yang sangat penting. Negara, masyarakat sipil, akademisi, hingga media memiliki tanggung jawab yang sama. Pendidikan kritis menjadi kunci utama. Gen Z perlu diajarkan untuk membaca realitas dengan perspektif yang lebih luas.
Dalam konteks media sosial, ekosistem digital yang sehat perlu dibangun bersama. Platform digital harus lebih bertanggung jawab dalam menyaring konten yang mengandung provokasi ekstrem. Namun, tanggung jawab terbesar tetap ada pada pengguna itu sendiri. Gen Z perlu diarahkan untuk menggunakan media sosial tidak hanya sebagai ruang ekspresi, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan kolaborasi lintas generasi. Narasi positif tentang keadilan, dan persatuan bangsa harus lebih banyak diangkat agar tidak kalah oleh propaganda radikal.
Gen Z adalah generasi yang penuh harapan. Mereka pemimpin masa depan. Energi mereka bisa menjadi kekuatan besar untuk membangun bangsa, selama diarahkan pada jalan yang benar. Jangan biarkan mereka kehilangan arah karena manipulasi pihak-pihak yang ingin menghancurkan demokrasi. Mari bersama-sama menjaga agar kepekaan sosial mereka tetap menjadi cahaya, bukan api yang membakar habis rumah besar kita bernama Indonesia.