Aksi terorisme tunggal (lone wolf terrorism) yang melibatkan sejumlah anak muda cukup mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah anak muda semakin menunjukkan ketertarikannya pada aksi terorisme tunggal ini. Bahkan, beberapa di antaranya telah melancarkan aksinya. Seperti SE (24) yang hendak melakukan aksi terornya di Istana Negara pada 26 Oktober 2022 lalu, misalnya. Atau, seperti ZA (25) yang menyerang Mabes Polri pada 31 Maret 2021 lalu.
Menurut laporan berbagai media, SE dan ZA itu tidak terafiliasi atau bergabung dengan kelompok atau jaringan terorisme mana pun. Aksi SE menyerang Istana Negara dan aksi ZA yang menyerang Mabes Polri diketahui murni kehendak diri sendiri untuk melakukan aksi teror. Aksi terornya itu tidak dilakukan atas perintah dari pimpinan atau kelompok man pun. Dengan kata lain, meminjam bahasa Immanuel Kant—tindakan SE dan ZA menebar teror tak lain adalah kehendak otonom mereka sendiri.
Dalam kajian akademik, fenomena lone wolf terrorism ini terbilang baru. Jika fenomena radikalisme yang terjadi di awal dekade tahun 2000-an teridentifikasi bahwa gerakan radikalisme merupakn yang terstruktur melalu garis koordinasi yang jelas, fenomena lone wofl terrorism tidak lagi menggunakan jejaring koordinasi yang jelas. Menurut Barton dan Stewart (dalam Spaiij, 2012) lone wolf terorism adalah individu yang bertindak atas perintah sendiri terlepas dari perintah jaringan ataupun organisasi manapun. Jadi, dalam gerakan terorisme tunggal, perintah dan koordinasi teror tidak lagi dibutuhkan.
Fenomena Lone Wolf Terrorism dan Keterlibatan Generasi Muda
Akan tetapi, yang penting untuk dicermati dalam fenomena lone wolf terrorism ini adalah keterlibatan anak-anak muda. Dua kasus di atas menunjukkan bahwa pelaku yang terlibat aksi teror di Mabes Polri (2021) dan di Istana Negara (2022) adalah anak muda. Keduanya baru berusia 25 tahunan. Hal ini kemudian memunculkan dugaan bahwa fenomena lone wolf terrorism ini sebenarnya adalah gerakan teror terorganisir yang dilakukan dengan ”garis koordinasi terputus”.
Garis koordinasi terputus itu adalah pola koordinasi di mana antara yang memberikan perintah dan yang diperintah sama-sama tidak mengetahui atau bahkan saling tidak mengenal satu sama lain. Bahkan, yang diperintah bisa jadi tidak sadar bahwa dirinya diperintah dan sedang atau hendak melakukan perintahnya. Yakni melakukan aksi teror. Si pelaku hanya menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah dorongan moral yang dibenarkan oleh agama.
Pola koordinasi terputus ini bisa dilakukan dengan memasuki alam sadar subjek atau individu. Di era digital seperti saat ini, memasuki dan mempengaruhi alam sadar individu sangatlah mudah dilakukan. Melalu media sosial dan platform digital lainnya, maka dengan sangat mudah seorang individu bisa dipengaruhi tanpa sadar bahwa si individu itu dipengaruhi. Berbagai temuan terkini juga mengonfirmasi hal itu, bahwa di era media sosial, proses radikalisasi juga berselancar bebas di dalamnya.
Kegiatan mempengaruhi ini akan semakin mudah bila individu yang menjadi objek sasaran juga lemah secara literasi. Lebih parah lagi bika IQ atau kecerdasan si individu yang menjadi objek sasaran itu juga lemah, maka secara mentalitas akan sangat mudah bagi paham-paham radikal untuk masuk ke dalam pola pikirnya. Terlebih lagi jika individu itu adalah perempuan, di mana perempuan dalam menangkap dan menerima suatu peristiwa, sering kali mengutamakan perasaan dari logika dan akal. Karena itu, juga menjadi wajar kemudian bila beberapa pelaku aksi teror lone wolf itu adalah perempuan.
Karena itu, fenomena lone wolf terrorism di kalangan anak muda, dapat dikatakan bahwa meski ia dilakukan berdasarkan kehendak sendiri, namun ia tetaplah merupakan kehendak yang bersumber dari gerakan teroris yang terorganisir. Lebih tepatnya, kehendak individu untuk melakukan aksi teror itu sebenarnya tak lain adalah kehendak yang dimanipulasi oleh penetrasi kelompok terorisme terorganisir. Karenanya, meski kehendak itu bersifat individual, namun kehendak itu sama sekali tidak lagi otonom dan independen. Ia adalah kehendak yang lahir dari manipulasi psikologis.
Di era digital seperti saat ini, sebagai ditegaskan di atas, media sosial menjadi tempat yang paling strategis untuk melakukan manipulasi dan rekayasa psikologis itu. Melalui berbagai konten, individu-individu diseret masuk ke dalam cara berpikir yang dikehendaki kelompok radikal hingga akhirnya si individu itu meyakini bahwa apa yang tengah menjadi kesadaran individualnya adalah kebenaran. Data terbaru menunjukkan bahwa mayoritas pengguna media sosial adalah anak muda atau yang biasa kita sebut generasi milenial. Karena itu, wajar bila banyak pelaku lone wolf terorism adalah bagian dari mereka. Sebab, mereka adalah mayoritas pengguna media sosial.