Pada tanggal 22 Oktober, catatan sejarah menghadirkan momen yang istimewa bagi santri di Indonesia. Penetapan Hari Santri Nasional yang diikuti dengan lahirnya Undang-undang Pesantren menjadi bentuk rekognisi negara secara resmi terhadap peran penting santri. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan baru muncul di tengah masyarakat, terutama bagi para santri.
Era disrupsi teknologi telah mengubah lanskap informasi dan pengetahuan. Kini, akses terhadap berita, pandangan, dan ilmu pengetahuan tidak lagi terbatas pada sumber-sumber yang terverifikasi, tetapi mengalir deras dari sumber yang tidak jelas sekalipun. Media sosial dan berbagai platform digital menjadi tempat di mana informasi kadang-kadang sulit dipisahkan antara yang benar dan yang salah.
Ketidakpastian semakin diperumit oleh munculnya pandangan ekstrem dan radikal dalam beragama yang salah satu sumbunya adalah pemahaman yang dangkal. Era disrupsi yang ditandai dengan kecepatan, kemudahan dan ketidakpastian memicu lahirnya pemahaman yang salah dalam memahami peristiwa. Konflik Palestina-Israel misalnya, diiringi dengan berbagai narasi dan isu-isu sensitif dan provokatif seperti seperti “Bela Islam,” “Save Palestina,” “Khilafah Solusi Palestina,” dan “Jihad”.
Tentu saja, konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina harus diakhiri dan negara Indonesia berkewajiban memberikan kontribusi sebagaimana amanat dalam Preembule UUD 1945, Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban untuk “turut serta menghapus penjajahan di atas dunia.”
Dalam konteks ini, para santri di Indonesia menghadapi tantangan penting: bagaimana mereka dapat bersikap bijak dan memberikan kontribusi positif dalam menyelesaikan konflik tanpa harus tersandera dengan narasi provokatif yang tidak produktif. Jihad Santri belum usai. Mereka harus mempersiapkan diri untuk menjawab kembali panggilan sejarah untuk berjihad dalam bentuk yang relevan menghadapi isu-isu kontemporer.
Dalam menghadapi tantangan yang kompleks di era disrupsi ini, peran santri menjadi semakin vital. Santri harus menjalankan peran penting sebagai penyaring informasi di tengah maraknya hoax dan informasi palsu yang memecah belah opini masyarakat. Mereka harus mempersiapkan diri untuk memberikan solusi yang baik, serta berkontribusi dalam merawat perdamaian sebagai salah satu tujuan syariah (maqasyid syariah).
Reaktualisasi Jihad santri di era digital menjadi langkah penting bagi para santri untuk memahami bahwa perjuangan tidak selalu terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam ranah digital. Santri harus menjalankan peran sebagai pelopor kebenaran dalam memerangi informasi palsu dan pandangan ekstrem di dunia maya.
Santri harus pula memberikan peran penting dalam melakukan kontra narasi menyikapi narasi provokatif seputar Konflik Palestina-Israel. Mereka harus mampu menghadapi narasi-narasi provokatif yang dapat memicu kekerasan dan ketegangan serta memecah belah persatuan masyarakat. Dalam hal ini, para santri perlu menjadi pelopor dialog, perdamaian, dan penyelesaian konflik yang adil.
Dalam konsep yang lebih komprehensif, peran jihad santri setidaknya bertumpu pada trilogi jihad Santri : Bela Agama, Bela Negara, dan Bela Kemanusiaan. Trilogi jihad ini adalah landasan moral bagi para santri dalam menjalankan perannya. Jihad sebagai upaya untuk mempertahankan agama, negara, dan kemanusiaan adalah prinsip yang harus menjadi pedoman dalam menjawab berbagai tantangan di era digital ini.
Sebagai para pelanjut tradisi santri yang memiliki kedalaman ilmu dan warisan nilai, para santri memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga perdamaian, melawan ekstremisme, dan mempromosikan nilai-nilai kebaikan, kebajikan dan perdamaian. Dengan melanjutkan jihad dalam arti yang sesungguhnya, para santri dapat menjadi kekuatan positif yang membawa kedamaian, keadilan, dan kemajuan bagi bangsa dan umat manusia.