Dunia kita menyimpan sejarah indah tentang kebersamaan dalam keragaman, antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya, dan antara umat agama satu dengan umat agama yang lainnya. Sejarah itu terjaga secara apik di berbagai generasi. Dikisahkan tentang keindahan sebuah kota damai bernama Aleppo, di kota cantik itu tiap siang dan malam dipentaskan tarian ajaib yang monumental, sebuah tarian spiritual ‘whirling Dervish‘ yang mendunia, hasil kreasi sastrawan besar yang asketik, Jalaluddin Rumi dan sejumlah pertemuan dahsyatnya bersama Syamsi Tabriz.
Dalam sebuah riwayat Ibnu Jubair pada abad XII disebutkan bahwa kota itu laksana paradise in the earth. Masjid Umawi sendiri dahulu adalah tempat ibadah bangsa Aram yang menyembah Dewa Hadad, mereka adalah bangsa Arab Suryani kuno yang telah ada sejak 3000 tahun sebelum masehi. di sana juga terdapat sumur pembaptisan, dimana orang-orang akan berkumpul untuk melakukan ritual pensucian.
Pada awal abad Masehi, kompleks masjid Umawi berganti menjadi tempat ibadah penyembahan untuk Dewa Jupiter al-Damasqy saat masa Romawi. Ketika agama Kristen berkembang di Damaskus pada abad keempat masehi, tempat tersebut menjadi Gereja yang bernama St. John The Baptish Basilica, maka tidak heran para nasrani banyak juga yang mengunjungi masjid Umawi.
Sejak Islam masuk ke Damaskus, umat Islam dan Kristen sepakat untuk membagi tempat ibadah tersebut menjadi dua bagian: sebelah timur untuk masjid dan sebelah barat untuk gereja. Mereka beribadah bersama-sama dalam satu tempat yang hanya dipisahkan oleh dinding tembok. Umat Islam mengumandangkan adzan, sementara umat Kristen membunyikan lonceng. Kerukunan ini berlangsung kurang lebih selama 70 tahun, atau sampai tahun 705 Masehi. Hingga suatu ketika, khalifah Walid bin Abd Malik menganggap perlu untuk membangun masjid megah sesuai dengan kebutuhan kaum muslim dan pemerintah Islam saat itu.
Kesatuan dalam keragaman lainnya, dinukilkan oleh Imam besar masjid Istiqlal, Prof. DR. KH. Ali Mustafa Yakub, MA., dalam acara ‘Satu Jam Lebih Dekat’ yang disiarkan oleh salah satu televisi nasional, beliau menceritakan pengalaman beliau saat menerima banyak tamu kepala negara. Beliau menggambarkan betapa indahnya kebersamaan dan kerja sama antara umat Islam dengan umat Nasrani, terutama saat merayakan hari besar mereka masing-masing, bila area parkir tidak menampung kendaraan umat Islam dalam halaman masjid Istiqlal, pengurus gereja Katedral membuka pagar dan mempersilakan umat Islam menempati area parkir yang ada di wilayah gereja katedral, demikian pula sebaliknya. Kerukunan ini telah berlangsung beberapa dekade.
Kisah di atas sama persis dengan kebersamaan yang dikisahkan dari kota Aleppo, lantunan suara adzan yang berkumandang dari masjid Istiqlal bertemu santun dengan dentuman bunyi lonceng yang diiringi kidung nyanyian gereja dari gereja Katedral. Kedua rumah Tuhan itu hanya dibatasi oleh jalan raya. Kerukunan yang dibangun keduanya membelah kesunyian angkasa, memecah polusi suara dari kendaraan yang lalu lalang. Lantunan itu mengajak para penganutnya untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kebersamaan dalam keragaman seperti diatas perlu terus dipertahankan dan diwariskan kepada banyak umat beragama yang beragam. Hal ini jauh lebih baik daripada mekasakan keseragaman, karena pemaksaan tersebut hanya akan melahirkan sikap ketidakadilan hingga kekerasan.
Kisah lain yang menunjukkan kebersamaan dalam keberagaman adalah pelaksanaan ibadah kaum muslimin Aberdeen di gereja Episkopal Santo Yohanes, di Aberdeen, Skotlandia. Gereja tersebut menjadi gereja pertama yang memberikan sebagian ruang bangunannya untuk digunakan umat Islam menjalankan ibadah shalat lima waktu secara berjamaah. Pendeta Isaac Pooblan meminjamkan sebagian ruangan aula gereja kepada Imam Ahmed Megharbi untuk dipergunakan melaksanakan kegiatan ibadah dan dakwah bagi umat Islam. Pendeta Isaac membuka hatinya untuk berbagi rumah tuhan lantaran area masjid yang ada sangat sempit hingga tidak jarang umat Islam beribadah di pinggir jalan.
Pesan keagamaan yang diaplikasikan pendeta Isaac adalah menghargai tetangga dan memperlakukannya dengan baik, tanpa melihat suku, bangsa, agama dan profesinya. Beliau pernah menyaksikan umat Islam melaksanakan shalat lima waktu di ruang terbuka saat salju turun dan cuaca sangat dingin, baginya itu adalah pemandangan yang sangat sulit dilupakan. Pendeta itu yakin bahwa Ia tidak menjalankan imannya jika tidak menawarkan bantuan kepada sesamanya yang membutuhkan.
Sikap penghargaan terhadap perbedaan seperti yang ditunjukkan oleh pendeta Isaac Poobalan di atas sebenarnya juga diajarkan di hampir semua agama, tidak terkecuali Islam. Allah SWT berpesan tentang sikap dan prilaku kepada tetangga melalui firman-Nyadi QS. al-Nisa 4:36 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”
Dalam sebuah riwayat yang disampaikan Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan bahwa: “Tetangga yang dekat adalah tetangga yang ada hubungan kekerabatan denganmu, sedangkan tetangga yang jauh adalah tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan denganmu.” Begitu pula Nabi Muhammad SAW yang selalu diberi pesan oleh Jibril tentang tetangga, sebagaimana beliau tuturkan dalam sebuah hadis. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai-sampai aku mengira bahwa ia (tetangga) akan mewarisi.” (HR. Bukhari 6015 dan Muslim 2625). Riwayat yang sangat populer dan selalu disampaikan para pendakwah adalah “Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat, hendaklah memuliakan tetangganya”. (HR. Bukhari 6016).
Namun ironis, dalil naqli dan aqli sebagaimana ditegaskan secara tersurat di atas, justru diaplikasikan dengan baik oleh pendeta Isaac. Betapa naifnya jika orang Islam sendiri ternyata tidak mampu mengamalkan pesan sakral tersebut hanya karena adanya perbedaan yang sesungguhnya tidak prinsipil. Kisah di atas menuntun kita untuk selalu siap dan bersikap toleran terhadap sesama ciptaan Tuhan, serta tidak menjadikan perbedaan sebagai sumber konflik yang berujung pada prilaku anarkis dan ekstremis.
Perbedaan bukanlah pertentangan, karena ia adalah bagian nyata dari sebuah dinamika kehidupan. Ia terjadi sejak manusia diciptakan, dan akan terus terjadi sepanjang sejarah kehidupa. Konflik yang kerap terjadi sesungguhnya tidak disebabkan oleh perbedaan, tetapi kekauan dan kedangkalan cara pandang dalam memahami perbedaan itu sendiri.