Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah dan realitas sosial-politik yang kompleks. Peran ulama (pemimpin agama) dan umara (pemimpin pemerintahan) sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial dan politik. Hubungan yang ideal antara ulama dan umara menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan mencegah radikalisme.
Idealnya seorang ulama harus juga seorang ulama yang menandakan adanya relasi intrinsik antara kepemimpinan agama dan negara. Dalam Islam, kepala negara atau umara seharusnya memiliki pemahaman mendalam tentang hukum Islam, bahkan mencapai tingkat mujtahid. Konsep ini dikenal sebagai “integratif,” di mana agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Contoh sejarah dari konsep ini dapat ditemukan pada masa Nabi Muhammad dan empat khalifah pertama: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Masa-masa ini menunjukkan bagaimana kepemimpinan yang integratif mampu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Namun, pola ideal ini sulit dipertahankan seiring berjalannya waktu, karena kekuasaan sering kali dipegang oleh mereka yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang agama. Bahkan, era selanjutnya dalam dinasti Umayah dan Abbasiyah susah sekali ditemukan pemimpin yang sekaligus ulama.
Ulama dan umara menjadi sangat ideal dalam konteks negara yang homogen dengan bersandarkan pada nilai agama sebagai dasar negara. Namun, dalam konteks negara yang multicultural dan plural, konsep umara sekaligus umara tidak bisa lagi ditemukan atau sangat sulit.
Di Indonesia, bangs aini pernah mempunyai seorang pemimpin yang sekaligus seorang ulama yang tercermin dalam masa kepemimpinan Kiai Abdul Rahman Wahid, atau lebih dikenal sebagai Gus Dur, saat menjadi presiden. Gus Dur mampu menyelaraskan perannya sebagai tokoh agama dengan tugas kenegaraan, menjadikannya contoh nyata dari integrasi ulama dan umara.
Namun, Gus Dur sebagai umara dan ulama juga tidak memiliki tendensi untuk mengatur negara berdasarkan satu agama. Kepemimpinan Gus Dur menampilkan bagaimana nilai-nilai agama dapat diterapkan dalam kebijakan pemerintahan, menciptakan harmoni antara prinsip-prinsip agama dan tata kelola negara.
Realitas menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki kapasitas sebagai ulama dan umara sangat langka. Kebanyakan pemimpin di era modern tidak memiliki latar belakang keagamaan yang mendalam, dan sebaliknya, banyak ulama yang tidak memiliki pengalaman dalam administrasi negara. Kondisi ini membuat idealisme integrasi ulama dan umara sulit dicapai.
Tantangan ini diperparah oleh dinamika politik dan sosial yang kompleks, di mana kekuasaan sering kali dipegang oleh individu-individu yang kurang memahami atau menghargai pentingnya keseimbangan antara nilai-nilai agama dan kebijakan publik.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang realistis dan adaptif dalam membangun relasi ulama-umara yang efektif. Salah satu pendekatan adalah dengan memperkuat kolaborasi antara ulama dan pemerintah melalui dialog yang berkelanjutan dan kemitraan strategis.
Ulama dapat berperan sebagai penasehat moral dan spiritual bagi para pemimpin, sementara umara dapat mendukung ulama dengan kebijakan yang adil dan inklusif. Relasi ideal antara ulama dan umara dalam negara bangsa seperti Indonesia sangat penting untuk menjaga stabilitas dan keharmonisan masyarakat.
Dalam menghadapi berbagai tantangan zaman terutama ancaman radikalisme yang mengatasnamakan agana, kerjasama yang sinergis antara kedua pihak menjadi kunci. Dengan demikian, ulama dan umara dapat bersama-sama membangun Indonesia yang damai, adil, dan sejahtera, serta menjauhkan masyarakat dari pengaruh radikalisme.