Spirit Kewarganegaraan sebagai Penjaga Empat Bingkai Kerukunan

Spirit Kewarganegaraan sebagai Penjaga Empat Bingkai Kerukunan

- in Narasi
91
0
Spirit Kewarganegaraan sebagai Penjaga Empat Bingkai Kerukunan

Dalam konferensi Asosiasi untuk Studi Asia (Association for Asian Studies), yang diadakan di Universitas Gadjah Mada, 6-12 Juli 2024, peneliti Islam di Indonesia, Robert Hefner mengatakan bahwa negara Indonesia diberkahi memiliki keberagaman yang menjadi suatu khazanah kekayaan budaya sekaligus sebagai pilar utama kekuatan bangsa. Hal ini menjadi keunggulan tersendiri bagi bangsa Indonesia jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Di hadapan lebih dari 2000 orang, baik dari dalam dan luar negeri, Robert Hefner mengusulkan ide ‘spirit kewarganegaraan’ (the spirit of citizenship), sebagai dasar dari relasi antar umat beragama di Indonesia. Ide tersebut juga tertuang dalam buku baru Islam and Citizenship (2024). Spirit kewarganegaraan adalah sikap untuk menjadikan dasar legal sebagai prinsip moral kehidupan bersama. Saya menafsirkan spirit kewarganegaraan juga merujuk kuat pada Pancasila. Dalam keanekaragaman Indonesia, kita diberkahi oleh kehadiran Pancasila. Kelima dasar negara itu adalah prinsip yang menaungi keberagaman Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila dapat kita pahami sebagai spirit kewarganegaraan.

Oleh karena itu, agar terus menghidupkan spirit kewarganegaraan, cara terbaiknya adalah dengan merawat 4 pilar kerukunan yang ter-manifestasikan dalam empat bingkai berikut; bingkai pertama, yakni bingkai politis yaitu UUD 1945, Pancasila, dan NKRI. Salah satu wujud implementasinya adalah membangun pemerataan sehingga tidak ada pihak yang merasa tidak menjadi bagian dari NKRI. Kedua, bingkai yuridis yaitu seperangkat regulasi yang dibuat untuk merawat keberagaman yang perlu ditaati.

Ketiga bingkai sosiologis, yaitu kearifan lokal. Bingkai ini sangat efektif untuk meredakan tensi sosial yang tidak bisa diselesaikan secara politis dan yuridis. Terakhir bingkai teologis. Agama-agama harus meng-arus-utamakan narasi kerukunan. Implementasi bingkai teologis dalam kehidupan sehari-hari terus dikawal dengan baik sebab bingkai ini merupakan bingkai yang paling dekat di hati dan keseharian masyarakat.

Melalui empat bingkai tadi, saya berpendapat bahwa spirit kewarganegaraan akan menjadi semakin kuat. Namun ada pula berbagai tantangan terhadap bingkai kerukunan yang mendukung keharmonisan hubungan umat beragama di Indonesia. Oleh karena itu, saya menawarkan beberapa strategi untuk menjaga spirit kewarganegaraan kita.

Kebutuhan untuk Mengintegrasikan Empat Bingkai Kerukunan

Berbagai peneliti berpendapat bahwa tantangan bagi empat bingkai kerukunan bangsa hari ini adalah intoleransi dan radikalisme (Karim, 2019; Hutahean, 2022). Intoleransi dan radikalisme memicu berbagai tindakan tidak patut dipuji seperti kekerasan antar umat beragama, diskriminasi pada agama-agama minoritas, terorisme dan lain sebagainya. Baru-baru ini, kita diperhadapkan dengan tantangan penggunaan AI oleh kelompok teroris untuk merekrut dan meracuni pikiran anak-anak muda. Oleh karena itu, perlawanan terhadap intoleransi dan radikalisme perlu mengikutsertakan penguatan aspek digital. Berikut adalah langkah-langkah untuk menghidupkan spirit kewarganegaraan untuk menjaga kerukunan umat hidup beragama berbasis empat bingkai kerukunan.

Pertama, pengembangan teologis yang berbasis kearifan lokal. Di Indonesia, kita kaya akan ajaran lokal yang penuh dengan prinsip penghormatan keberagaman. Misalnya, gotong royong yang ada di Jawa dan tradisi pela-gandong di Maluku. Kedua ajaran tersebut mengarah para sikap saling menghormati dan menolong. Ajaran-ajaran teologi agama perlu mengakomodasi nilai-nilai seperti gotong royong dan pela-gandong agar orang Indonesia hidup saling menolong satu sama lain sebagai sesama warga negara. Ajaran agama tidak boleh mengarah pada kepentingan satu kelompok agama saja karena akan memicu radikalisme dan intoleransi. Kehadiran kearifan lokal memastikan bahwa ajaran agama selalu merangkul dan mengikutsertakan kepentingan bersama. Perpaduan antara ajaran teologi dan kearifan lokal menjadi bentuk kongkret dari perpaduan bingkai ketiga dan keempat.

Kedua, regulasi berbasis kewargaan. Di Indonesia, regulasi menjadi bentuk paling ampun untuk membatasi tindakan radikalisme dan intoleransi. Sebagai contoh, kehadiran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sangat menolong untuk menurunkan tindakan terorisme di Indonesia. BPNT adalah contoh regulasi berbasis kewargaan karena kehadiran BNPT berpihak dan menguntungkan semua warga. Pengembangan regulasi kewargaan seperti kemudahan membuka rumah ibadah, pembatasan akses kelompok radikal di media sosial, dan pendidikan perdamaian menjadi penting untuk menjaga kerukunan umat beragama. Regulasi ini adalah cerminan dari perpaduan bingkai pertama dan kedua yaitu bingkai regulasi dan yuridis.

Dua tawaran ini mengarah pada tujuan menghidupkan spirit kewarganegaraan sebagai penjaga pilar empat bingkai kerukunan umat beragama di Indonesia. Spirit kewarganegaraan menjadi nyata apabila kita memiliki regulasi dan ajaran teologi yang berbasis kewarganegaraan. Regulasi kita perlu mengakomodasi kebutuhan bersama. Begitu pula, ajaran teologi perlu mendorong pada sikap kepentingan bersama seperti gotong royong dan pela-gandong. Dengan penguatan regulasi dan teologi, maka spirit kewarganegaraan menjadi semakin nyata.

Facebook Comments