Fenomena keberagamaan kita hari ini diwarnai oleh gejala inferiority complex. Sejenis sindrom rendah diri atau minder dalam beragama. Gejala ini dapat diidentifikasi dari setidaknya dua hal. Pertama, menguatnya gerakan puritanisme agama, yakni agenda pemurnian agama terutama dari pengaruh kebudayaan atau kearifan lokal.
Puritanisme agama berangkat dari premis bahwa Islam saat ini telah kehilangan sakralitasnya, lantaran terinfiltrasi kearifan lokal. Islam tidak lagi sesuai dengan apa yang disyariatkan dalam Alquran. Islam telah melenceng jauh dari apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Umat Islam hari ini hidup di zaman kemunduran akibat distorsi akidah. Demikian premis yang selalu diulang-ulang kaum puritan.
Maka, jalan satu-satunya untuk memurnikan ajaran Islam dan mengembalikan sakralitasnya adalah dengan membuang semua unsur lokalitas. Islam harus dikembalikan ke bentuk awalnya. Sekilas, agenda puritanisme agama ini tampak heroik dan berpihak pada Islam.
Namun, pada praktiknya nyatanya tidak demikian. Agenda puritanisme Islam kerap kali terjebak pada arabisasi, yakni menolak seluruh budaya lokal, karena dianggap bertentangan dengan Islam dan di saat yang sama mengagungkan budaya Arab sebagai satu-satunya representasi Islam. Lebih parahnya lagi, agenda puritanisme kerap menghalalkan segala cara, termasuk teror dan kekerasan.
Bahaya Puritanisme dan Romantisisme Agama
Puritanisme agama tidak lain adalah wujud inferiotas beragama. Kelompok puritan tidak bangga akan identitas keislaman Indonesia yang kental dengan nuansa tradisi dan budaya. Sebaliknya, mereka menganggap Islam ala Arab itu sebagai yang paling ideal.
Tanpa mempertimbangkan bahwa Islam ala Arab itu nyatanya juga merupakan hasil persilangan budaya antara Islam dan budaya lokal Arab itu sendiri. Sikap emoh pada kearifan lokal, ini menandakan bahwa mereka tidak bangga akan identitas bangsa sendiri.
Mereka lebih bangga pada identitas bangsa lain. Inferioritas beragama yang demikian ini berbahaya bagi kemajemukan bangsa. Apalagi dalam konteks keindonesiaan dimana kearifan lokal adalah elemen penting pembentuk identitas kebangsaan.
Kedua, gejala inferiotas beragama itu juga mewujud pada munculnya sentimen romantisisme masalalu. Yakni sikap mengagungkan masa lalu sebagai masa kejayaan paling ideal dan mengajak seluruh umat manusia untuk berpikir regresif (kembali ke belakang).
Romantisisme yang saat ini berkembang di sebagian muslim umumnya berangkat dari keyakinan bahwa era kekhalifahan adalah masa kejayaan paling ideal dalam sejarah Islam. Keyakinan itu memunculkan persepsi bahwa kekayaan Islam hanya bisa diraih jika umat Islam mampu menegakkan sistem pemerintahan khilafah seperti diterapkan di masa lalu (Abad Pertengahan Islam).
Romantisisme pada kejayaan Islam di masa lalu ini cenderung ahistoris. Dalam artian tidak berpijak pada pemahaman sejarah yang sahih. Klaim bahwa era kekhalifahan adalah fase kejayaan ideal Islam itu tidak sepenuhnya benar. Faktanya, di masa itu dunia Islam tidak terlepas dari berbagai problem. Antara lain kemiskinan, bahkan konflik antar kelompok akibat perebutan kekuasaan.
Romantisme kejayaan Islam masa lalu yang ahistoris inilah yang melatari munculnya gerakan ekstrem. Seperti ajakan untuk mendirikan sistem politik Islam ala khilafah Abad Pertengahan. Tanpa terlebih dahulu memahami bahwa saat ini mayoritas muslim hidup di negara bangsa yang demokratis.
Kualitas SDM Sebagai Kunci Membangun Peradaban
Fenomena puritanisme dan romantisisme secara umum merupakan ekspresi dari rasa rendah diri alias minder akibat kalah dan kontestasi peradaban. Orang yang kalah cenderung kehilangan kepercayaan diri. Lalu hanya bisa membanggakan kejayaan masa lalu. Menganggap capaian masa lalu sebagai benchmark ideal yang harus dihadirkan kembali di masa sekarang.
Fenomena inferiotas beragama yang mewujud pada puritanisme dan romantisisme pada dasarnya justru merugikan umat Islam itu sendiri. Kecenderungan untuk berpikir regresif alias berorientasi ke belakang justru akan membuat Islam semakin tertinggal oleh peradaban Barat. Yang kita butuhkan saat ini adalah sikap percaya diri yang dibarengi dengan perilaku afirmatif dan akomodatif.
Di satu sisi kita harus bangga dengan identitas keislaman kita. Namun, di saat yang sama kita harus adaptif pada dinamika kebudayaan dan kearifan lokal. Dengan bangga pada lokalitas, kita pada dasarnya tengah membangun kepribadian Islam yang progresif dan lepas dari bayang-bayang romantisisme dan puritanisme.
Dalam konteks yang lebih spesifik, sikap bangga menjadi muslim Nusantara adalah langkah awal membangun peradaban Islam yang unggul. Peradaban Islam unggul itu tidak hanya ditentukan oleh sistem politik atau pemerintahan yang berlandaskan syariah. Lebih dari itu, peradaban Islam unggul sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Kualitas SDM adalah kunci membangun peradaban unggul di era modern.
Maka, khazanah kearifan lokal Nusantara yang begitu kaya akan filosofi itu hendaknya bisa menjadi modal mengembangkan pendidikan karakter yang berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Melestarikan kearifan lokal dengan demikian adalah upaya membangun kualitas SDM muslim Indonesia yang unggul.