Menjaga Nilai Kepahlawanan Kartini dari Distorsi Kaum Radikal

Menjaga Nilai Kepahlawanan Kartini dari Distorsi Kaum Radikal

- in Narasi
6
0
Menjaga Nilai Kepahlawanan Kartini dari Distorsi Kaum Radikal

Setiap kali Hari Kartini diperingati, selalu muncul narasi-narasi yang berusaha mendistorsi kepahlawanan Kartini. Upaya mendistorsi kepahlawanan Kartini ini dapat dilihat dari setidaknya tiga narasi. Pertama, narasi klasik yang menyebut bahwa Kartini tidak layak dijadikan panutan perempuan muslim karena ia tidak berjilbab.

Narasi yang demikian ini jelas ahistoris. Membandingkan sebuah konteks sosial dan budaya yang terjadi di masa lalu dengan kacamata kekinian. Kartini yang tidak berjilbab dikritisi dengan kacamata zaman sekarang dimana islamisme berkembang sedemikian rupa. Tentu hal itu merupakan hal yang salah kaprah.

Sebuah peristiwa dimasa lalu kiranya dibaca dengan perspektif masa lalu juga. Alias tidak dicerabut dari akar konteks sosial, politik, dan budaya yang malatarinya. Nalar ahistoris yang demikian ini akan membuat kita terjebak dalam pemahaman yang simplifikatif dan tidak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya.

Kedua, narasi yang coba membandingkan Kartini dengan pahlawan perempuan lain, yakni Cut Nyak Dien. Pahlawan nasional asal Aceh yang ikut berperang mengangkat senjata melawan penjajah.

Cut Nyak Dien diklaim lebih islami dan lebih layak disebut pahlawan, karena dia berperang langsung melawan musuh negara. Sebaliknya, Kartini bukanlah seorang pejuang sehingga tidak layak disebut pahlawan.

Narasi komparatif ini sengaja dibuat untuk membenturkan dua tokoh pahlawan nasional. Tujuannya tentu mendistorsi peran satu tokoh sembari menonjolkan peran tokoh lain. Teknik komparasi seperti ini biasa dipakai sebagai bagian dari upaya mengadu-domba publik.

Terkahir, narasi yang menyebutkan bahwa Kartini adalah pahlawan yang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk merusak moral perempuan Indonesia. Narasi ini berusaha membangun opini publik bahwa Kartini sebenarnya adalah perempuan biasa saja.

Kepahlawanan dan ketokohannya adalah rekayasa Belanda yang ingin mempromosikan emansipasi perempuan. Narasi ini berangkat dari keyakinan bahwa emansipasi perempuan adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Pertanyaannya, siapa yang menyebar narasi ini? Siapa lagi jika bukan kaum konservatif. Kelompok yang menolak segala jenis pemikiran modern, termasuk gagasan emansipasi perempuan yang digagas Kartini. Bagi kaum radikal, gerakan emansipasi perempuan, keadilan gender, feminisme, dan sejenisnya itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Kaum konservatif meyakini bahwa kodrat perempuan adalah sebagian mahluk domestik yang patuh pada kehendak laki-laki. Jadi, gerakan emansipasi yang digagas Kartini dianggap sebagai musuh dan ancaman bagi ortodoksi Islam.

Sebenarnya tidak hanya Kartini, para pegiat isu gender pun kerap mendapat serangan dari kaum konservatif. Tokoh-tokoh gerakan perempuan seperti Musdah Mulia, Siti Nuriyah Wahid, sampai Najwa Shihab pun tidak luput dari serangan kaum konservatif. Mereka dianggap sebagai provokator perempuan muslimah agar membangkang pada kodratnya.

Maka, para eksponen gerakan Islam konservatif selalu menggaungkan narasi bahwa kodrat perempuan adalah menjadi mahluk domestik. Alias mengurusi rumah tangga. Perempuan yang bekerja dianggap sebagai penyebab fitnah akhir zaman.

Perempuan yang menjadi pemimpin politik dianggap sebagai awal kehancuran sebuah bangsa. Pendek kata, bagi kaum konservatif, ruang publik adalah wilayah dominasi laki-laki.

Distorsi Kepahlawanan Kartini oleh kaum konservatif ini tentu tidak boleh dibiarkan. Jika mereka berhasil mendistorsi kepahlawanan Kartini, bisa dipastikan mereka akan melakukannya terhadap pahlawan lain. Maka, tinggal menunggu waktu akan muncul narasi bahwa Sukarno itu bukan pahlawan, karena berkolaborasi dengan Jepang. Atau Tan Malaka itu tidak pantas disebut Bapak Bangsa karena berpandangan sosialis.

Lalu, mereka, kaum konservatif akan mengimpor sosok-sosok pahlawan dari bangsa luar yang diklaim lebih islami. Strategi klasik ini harus kita baca dan lawan sejak awal sebelum membesar.

Narasi Kartini tidak berjilbab harus dilawan dengan pemaparan fakta sejarah. Bahwa di zaman Kartini, kerudung apalagi jilbab belum sepopuler di era sekarang. Islam yang berkembang kala itu masih bisa dibilang sangat sederhana. Dalam artian, simbol keislaman seperti jilbab, atau pakaian muslim lainnya belum dikenal luas di masyarakat.

Meski demikian, Kartini merupakan sosok yang sangat dekat dengan Islam, ketimbang perempuan lain yang sekasta dengannya. Kartini tumbuh di keluarga priyayi-santri. Kartini muda sangat aktif belajar Islam.

Bahkan, tidak tanggung-tanggung, ia belajar pada guru para ulama besar Tanah Jawa, yakni Syekh Soleh Darat yang memiliki nama asli Muhamammad Soleh bin Umar Al Samarani.

Kartini bahkan disebut sebagai salah satu murid kesayangan ulama besar tersebut. Menjadi absurd jika Kartini yang santriwatinya Syekh Soleh Darat dianggap kurang islami hanya karena di fotonya tidak mengenakan jilbab.

Narasi yang membandingkan Kartini dan Cut Nyak Dien juga harus dibantah. Keduanya layak disebut pahlawan meski berjuang di jalur yang berbeda. Definisi pahlawan bukanlah sekadar mereka yang berjuang mengangkat senjata atau gugur di medan pertempuran.

Para tokoh yang menyumbang gagasan besar bagi bangsa juga layak disebut pahlawan. Termasuk Kartini. Membandingkan Kartini dengan Cut Nyak Dien adalah hal yang tidak perlu, karena tujuannya hanya untuk mengadu-domba umat itu sendiri. Cut Nyak Dien itu justru merepresentasikan konsep emansipasi Kartini. Cut Nyak Dien membuktikan bahwa sebagai perempuan, ia bisa berkiprah di ruang publik dan tidak selamanya menjadi makhluk domestik.

Terakhir, narasi yang menyebutkan bahwa Kepahlawanan Kartini adalah hadiah dari Belanda, dan gagasan emansipasinya bertengangan dengan Islam juga wajib dibantah. Kepahlawanan Kartini tidak dihadiahkan apalagi direkayasa oleh Belanda.

Gelar Pahlawan Nasional Kartini diberikan oleh pemerintah Orde Lama dibawah Pimpinan Presiden Sukarno pada Mei tahun 1964. Itu artinya, gelar pahlawan nasional itu diberikan secara resmi oleh pemerintah Indonesia sebagai pengakuan atas sumbangsih Kartini dalam gerakan perempuan.

Narasi yang menyebutkan bahwa emansipasi perempuan bertentangan dengan ajaran Islam juga wajib dibantah. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Ajaran Islam tentang perempuan mereformasi tradisi Arab Jahiliyyah yang misoginis dan patriarkis. Misalnya tentang mahar pernikahan, hak bersaksi, sampai hak waris ajaran Islam.

Facebook Comments