Memberangus Ormas Vigilantis, Mengamplifikasi Pesan Bina-Damai Di Kalangan Silent Majority

Memberangus Ormas Vigilantis, Mengamplifikasi Pesan Bina-Damai Di Kalangan Silent Majority

- in Narasi
6
0
Memberangus Ormas Vigilantis, Mengamplifikasi Pesan Bina-Damai Di Kalangan Silent Majority

Berakhirnya era Orde Baru oleh gerakan Reformasi membawa perubahan pada lanskap gerakan sipil di Indonesia. Tidak berlakunya lagi kebijakan asas tunggal dan terbukanya keran demokratisisasi menghadirkan dua sisi wajah gerakan sipil yang saling bertolak belakang.

Di satu sisi, supremasi sipil memang menguat. Kebebasan berpendapat dan berekspresi kembali mendapat ruang yang lebar. Di sisi lain, menguatnya supremasi sipil itu juga berdampak pada menjamurnya organisasi kemasyarakatan atau ormas yang berwatak vigilantis.

Dalam leksikon ilmu sosial, vigilantisme diartikan sebagai paham atau gerakan yang menghalalkan cara kekerasan di luar mekanisme hukum untuk mewujudkan sebuah agenda atau kepentingan.

Ormas vigilantis ini dicirikan dengan perilakunya yang sering main hakim sendiri, tidak taat hukum, melawan otoritas aparat keamanan, dan kerap memakai kekuatan massa untuk menekan pihak tertentu. Dalam praktiknya, vigilantisme menimbulkan keresahan bagi masyarakat.

Keamanan dan kenyamanan masyarakat menjadi tergadaikan oleh keberadaan ormas vigilantis. Dalam konteks yang lebih luas, ormas vigilantis juga menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa. Apalagi ketika sejumlah ormas mulai membawa isu atau sentimen primordialisme kesukuan bahkan fanatisme keagamaan.

Bisa dibilang, salah satu tantangan terbesar era Reformasi adalah kemunculan lemas vigilantis tersebut. Diakui atau tidak, Orde Baru dengan kebijakan asas tunggalnya lebih berhasil mengontrol ormas agar tidak menjurus pada vigilantisme.

Mengutip Ian Wilson, dalam bukunya Politik Jatah Preman, keberadaan ormas vigilantis kerap bersimbiosis mutualisme dengan sejumlah pihak. Mulai dari kalangan pengusaha, politisi, bahkan agamawan. Secara spesifik, Wilson menyebut Front Pembela Islam (FPI) sebagai representasi dari ormas vigilantis yang berafiliasi dengan tokoh agama berhaluan konservatif.

Belakangan, isu ormas vigilantis kembali mencuat di ruang publik kita. Sejumlah kalangan terutama pengusaha mengeluhkan kehadiran ormas yang menghambat usaha mereka. Dalam konteks yang lebih luas, ormas vigilantis juga menjadi salah satu hambatan bagi investasi asing masuk ke Indonesia. Jika dibiarkan, maka keberadaan ormas justru akan menjadi musuh dalam selimut yang membahayakan eksistensi bangsa dan negara.

Maka, penting kiranya mengembalikan esensi ormas dan gerakan sipil sebagai katalisator pembangunan. Keberadaan ormas harus menjadi salah satu elemen penting pembangunan, bukan justru menjadi penghambat pembangunan itu sendiri. Alih-alih berperan sebagai kelompok vigilantis yang memakai cara kekerasan dan premanisme, ormas idealnya tampil sebagai penghubung antarbeebsgau kepentingan, terutama antara pemerintah, swasta atau pelaku dunia usaha, dan masyarakat sipil.

Peran ini dapat dilakukan setidaknya dengan sejumlah cara. Pertama, ormas harus menjadi mitra kritis pemerintah. Di satu sisi, ormas harus mensukseskan program atau kebijakan pemerintah yang berpihak pada rakyat. Di sisi lain, ormas juga harus tetap merawat nalar kritis dalam mengawasi kebijakan pemerintah. Ormas wajib memastikan pemerintah tidak bersikap otoriter dan keluar dari jalur konstitusional.

Kedua, ormas harus menjadi tameng bagi ideologi Pancasila, konstitusi UUD 1945 dan prinsip Bhineka Tungal Ika. Ormas idealnya ada di barisan terdepan dalam menjaga NKRI dari infiltrasi ideologi asing yang merongrong wibawa negara.

Termasuk menghalau ideologi radikal ekstrem berkedok agama yang belakangan menjadi musuh bersama. Jangan sampai, ormas justru menjadi penyokong gerakan anti kebangsaan itu sendiri.

Ketiga, ormas harus berperan dalam merawat kerukuan, baik dalam konteks kesukuan maupun keaagaman. Dalam konteks ini, ormas harus menjadi agen bina-damai yang menebar pesan toleransi ke seluruh lapisan masyarakat. Terutama ke kalangan silent majority. Kelompok ini selama ini cenderung pasif, tidak mau secara terbuka menyampaikan pandangannya di ruang publik. Padahal, secara umum mereka cinta damai dan anti kekerasan.

Namun, karena cenderung pasif, kelompok silent majority kerap dipersepsikan setuju dengan perilaku ormas vigilantis yang mengarah pada radikalisme dan ekstremisme. Fungsi ormas sebagai agen bina-damai di kalangan silent majority bisa diklasifikasikan ke dalam sejumlah hal.

Antara lain, aktif mengedukasi masyarakat agar menjaga kerukunan bangsa. Di sisi lain, ormas juga bisa berjejaring membentuk ekosistem sosial untuk mencegah munculnya benturan atau konflik sosial.

Terakhir, namun tidak kalah pentingnya adalah ormas harus berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat, terutama dari sisi ekonomi. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, gerakan masyarakat sipil seperti ormas harus diorientasikan untuk meningkatkan kualitas atau taraf hidup masyarakat. Terutama dalam hal intelektual, finansial, dan sebagainya.

Dalam hal ini kita patut mengapresiasi kerja sosial keaagaman yang dilakukan oleh ormas keagamaan seperti Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama yang selama puluhan tahun memberdayakan umat. Dua ormas keislaman itu aktif memberdayakan masyarakat dalam hal pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Di era Reformasi yang demokratis dan bebas ini, kehendak masyarakat untuk berserikat tentu tidak dapat dihalangi. Hal itu adalah hak konstitusional setiap warganegara. Namun, itu bukan berarti kita boleh permisif pada gerakan sipil yang menjurus pada vigilantisme.

Ormas vigilantis tidak boleh diberi tempat di negeri ini. Vigilantisme tidak hanya mengancam rasa nyaman dan aman publik. Lebih dari itu, vigilantisme adalah ancaman bagi demokrasi yang susah payah kita bangun.

Mencuatnya isu ormas vigilantis belakangan ini kiranya menjadi momentum untuk merevitalisasi peran dan fungsi ormas di tengah masyarakat. Ormas harus menjadi katalisator pembangunan dan kemajuan negara. Bukan sebaliknya, justru menjadi provokator yang menebar perpecahan dan kekerasan.

Facebook Comments