Fanatisme kelompok adalah salah satu tantangan serius yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam menjaga harmoni sosial dan stabilitas kebangsaan. Dalam konteks ini, fanatisme dapat dimaknai sebagai sikap berlebihan dalam mencintai atau membela kelompok sendiri—baik itu atas dasar agama, ideologi, suku, maupun organisasi—tanpa mempertimbangkan kebenaran objektif atau bahkan realitas yang terjadi di lapangan.
Fanatisme seperti ini bukan saja mengikis nalar sehat, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik, permusuhan, bahkan kekerasan. Lantas, apakah budaya tabayyun—yakni sikap kehati-hatian, klarifikasi, dan mencari kebenaran sebelum mengambil kesimpulan—dapat menjadi solusi untuk meredam fanatisme kelompok? Mungkinkah nilai yang bersumber dari ajaran Islam ini menjadi pintu masuk untuk membangun masyarakat yang lebih dewasa?
Budaya tabayyun sejatinya berakar dari perintah langsung dalam Al-Qur’an, khususnya dalam QS. Al-Hujurat ayat 6. Ayat tersebut menegaskan pentingnya memverifikasi informasi, terutama bila datang dari pihak yang diragukan kredibilitasnya agar tidak terjadi kesalahan.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, tabayyun bisa menjadi prinsip moral yang mendorong masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi, tidak gegabah dalam menuduh dan menghakimi, serta menjunjung tinggi keadilan dan kebijaksanaan. Sikap seperti ini jelas sangat relevan di tengah maraknya disinformasi, provokasi, dan polarisasi yang membelah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling curiga, bahkan saling bermusuhan.
Fanatisme kelompok seringkali tumbuh dalam ekosistem sosial yang tidak sehat, di mana informasi disebarkan secara sepihak, narasi dibentuk secara bias, dan ruang dialog disumbat oleh kebencian serta prasangka buruk terhadap liyan. Di media sosial, kita sering menyaksikan bagaimana satu kelompok dengan mudahnya menghakimi kelompok lain hanya berdasarkan potongan video, kutipan ujaran, atau tangkapan layar yang belum tentu benar.
Situasi tersebut diperparah dengan adanya algoritma media yang memperkuat “echo chamber” sehingga orang hanya disuguhi informasi yang memperkuat keyakinan kelompoknya sendiri dan makin jauh dari perspektif yang berbeda. Dalam dunia seperti ini, tabayyun bukan hanya penting, tapi mendesak untuk menyelamatkan akal sehat dan integritas sosial.
Namun demikian, menerapkan budaya tabayyun di tengah arus fanatisme kelompok bukan perkara mudah. Sebab, fanatisme sering kali tidak lahir dari ketidaktahuan semata, tapi dari pilihan ideologis yang tertanam kuat. Dalam banyak kasus, fanatisme tumbuh karena ada kebutuhan untuk merasa “paling benar”, “paling suci”, atau “paling berhak” atas ruang sosial.
Dalam kondisi seperti itu, kebenaran seringkali dikorbankan demi loyalitas buta terhadap kelompok. Orang yang mencoba bersikap netral atau mengedepankan tabayyun justru malah dicap sebagai pengkhianat atau pengecut. Tantangan inilah yang membuat budaya tabayyun sering kali diabaikan, dan bahkan dianggap sudah tidak lagi relevan.
Namun, meski sulit, bukan berarti mustahil. Budaya tabayyun tetap bisa dihidupkan dan ditumbuhkan, terutama bila dimulai dari lingkungan terkecil: keluarga, sekolah, komunitas lokal, dan lembaga keagamaan. Anak-anak harus diajarkan sejak dini untuk berpikir kritis, serta tidak mudah percaya terhadap berita bohong, serta terbuka terhadap perbedaan.
Tabayyun bukan sekadar sikap pasif, tetapi bentuk tanggung jawab moral untuk tidak menambah bara dalam api. Ia adalah upaya aktif merawat akal sehat dan menjaga martabat kemanusiaan dalam relasi sosial yang kompleks. Di tengah dunia yang bising oleh kebencian, tabayyun adalah suara jernih yang menuntun kita kembali pada akal sehat, kebijaksanaan, dan kemanusiaan. Bukan pada perpecahan yang dapat mengarah pada disintegrasi.