Apakah Mencekal Ormas Radikal Teroris Menyalahi Demokrasi?

Apakah Mencekal Ormas Radikal Teroris Menyalahi Demokrasi?

- in Narasi
7
0
Apakah Mencekal Ormas Radikal Teroris Menyalahi Demokrasi?

Di beberapa negara, gerakan-gerakan kebangkitan organisasi agama berjalan seiring dan terkadang memperkuat sistem politik ke arah yang lebih demokratis. Sementara di wilayah-wilayah lain, antara agama dan demokrasi saling bertentangan. Gerakan agama bangkit menawarkan Islam sebagai ideologi alternatif berhadapan dengan ideologi demokrasi yang sudah mapan dipraktikkan di negara-negara modern. Itu di satu sisi.

Di sisi lain, ormas keagamaan terkadang menjadi ujian bagi sistem keterbukaan itu sendiri. Di Indonesia, demokrasi baru mendapatkan angin segar (lagi) setelah Reformasi. Di momen itu pula, gerakan-gerakan keagamaan berlomba melakukan “indoktrinasi” masal tentang bagaimana tata nilai Islam seharusnya dipahami dan dilakukan dalam kehidupan. Salah satu yang prominent adalah Front Pembela Islam (FPI).

Tetapi, karena FPI terkesan sangat ofensif terhadap asas-asas kebangsaan, negara membubarkannya pada tahun 2020. Pertanyaaannya, apakah pembubaran FPI mengindikasikan keterbukaan dan demokratisasi yang dikebiri?

Memang, benar bahwa FPI sudah lama terekam jejaknya sebagai organisasi yang kerap kali membuat onar di tengah masyarakat, mulai dari awal dulu tahun 2000-an ketika banyak anggota FPI yang terlibat aksi-aksi vigilante, persekusi dalam sweeping yang melanggar hukum, hingga yang baru-baru ini pelanggaran protokol pandemi covid-19 di Petamburan.

Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh Imam besar mereka, Habib Rizieq Shihab, yang bahkan jika ia berkata 2+2 sama dengan 5, mereka tetap benarkan.

Sejak bubarnya HTI, dan kemudian sekarang FPI, muncul pertanyaan mengenai sistem demokrasi Indonesia yang katanya mampu mengakomodir kebebasan berpendapat, termasuk mendirikan organisasi masyarakat. Apakah membubarkan ormas-ormas tidak merusak nilai demokrasi?

Pada kenyataannya, dalam negara-negara maju yang menganut demokrasi, lazim melakukan pembubaran-pembubaran organisasi masyarakat. Merespon pertanyaan tersebut, Declaration of Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 2015 yang disepakati oleh negara-negara dunia dan ditandatangi oleh BAN Ki-moon dijelaskan bahwa negara harus memberikan hak dan kebebasan bagi masyarakat untuk berserikat dan berkumpul dalam pasal 20.

Namun, dalam pasal 29, hak berserikat dan berkumpul tersebut masih bisa dibatasi dengan batasan tertentu, yaitu organisasi bisa dibatasi dalam rangka untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain, dalam rangka menjaga moralitas, dan yang terakhir menjaga ketertiban publik dan kesejahteraan umum. Dalam arti lain, pemerintah bisa melakukan tindakan terhadap suatu organisasi, jika organisasi tersebut membahayakan kepentingan rakyat.

Faktanya, Amandemen UUD 1945 juga mempunyai nafas serupa mengenai hal ini, yaitu pada pasal 28E di mana negara memberikan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat bagi warga negara, namun tetap ada kemungkinan untuk diberi batasan dengan pertimbangan untuk mengakui dan menghormati hak orang lain, untuk menegakkan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban, pada pasal 28J ayat 2.

Tentu jika melihat track record FPI dalam rekam sejarah, pembubaran tersebut sudah sesuai dengan prosedur pembatasan organisasi, baik dari PBB maupun amandemen UUD 1945. Tidak hanya FPI, bahkan HTI adalah organisasi yang dilarang di berbagai negara besar, seperti Turki, Jerman, Mesir, Cina, Pakistan, Australia. Jika melihat dalam Anggaran Dasar Front Pembela Islam (FPI), FPI memang pada dasarnya sangat anti terhadap pemerintahan Indonesia.

Kerangka ini sejatinya masih relevan jika hendak diterapkan di beberapa tahun terakhir ini. Beberapa ormas, bahkan ormas keagamaan, dilaporkan meresahkan oleh sejumlah masyarakat. Seperti misalnya aksi premanisme, intoleransi, bahkan yang menjurus pada persekusi.

Pencekalan ormas “rusuh” dan berhaluan ekstrem memang menimbulkan pro dan kontra terkait pemahaman kita tentang demokrasi. Namun, penting untuk dipahami bahwa demokrasi bukan berarti kebebasan yang tanpa batas.

Sebagai negara yang menganut demokrasi, Indonesia memiliki kewajiban untuk menjaga kestabilan, kedamaian, dan keamanan nasional, serta mencegah penyalahgunaan hak kebebasan untuk tujuan yang merugikan banyak orang. Dengan demikian, pembubaran ormas yang terbukti mengganggu ketertiban masyarakat dan melanggar prinsip-prinsip kebebasan yang bertanggung jawab tidaklah bertentangan dengan semangat demokrasi.

Artinya, pembubaran ini tidak menurunkan derajat demokrasi di Indonesia, justru Indonesia sedang menaikkan derajatnya dengan cara membasmi segala hama-hama yang meracuni Indonesia, sehingga warganya tetap menjadi warga negara yang sehat, berakal, dan berperikemanusiaan. Indonesia sedang menaikkan derajatnya dengan melindungi moral dan keamanan bangsa Indonesia, keamanan nasional dan keamanan spiritual.

Facebook Comments