Kebebasan yang Melukai: Saat Ekspresi Menabrak Batas Kesucian; Refleksi Penghinaan Majalah LeMan

Kebebasan yang Melukai: Saat Ekspresi Menabrak Batas Kesucian; Refleksi Penghinaan Majalah LeMan

- in Faktual
0
0
Kebebasan yang Melukai: Saat Ekspresi Menabrak Batas Kesucian; Refleksi Penghinaan Majalah LeMan

Baru-baru ini, majalah satir asal Turki,LeMan, menuai kecaman setelah menerbitkan karikatur yang diduga menggambarkan sosok Nabi Muhammad dan Nabi Musa berjabat tangan di tengah latar kehancuran Gaza dan Teheran. Meskipun pihak majalah mengklaim tidak ada niat menghina, reaksi masyarakat Muslim — baik di Turki maupun dunia internasional — menunjukkan hal sebaliknya.

Protes massa di Istanbul meledak dan empat staf Leman, termasuk kartunis Dogan Pehlevan diamankan atas tuduhan menghasut kebencian publik. Presiden Recep Tayyip Erdoğan menyebut publikasi tersebut sebagai “provokasi keji” dan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan penghinaan terhadap kesucian agama.

Insiden ini bukan yang pertama di dunia. Sayangnya, tidak akan menjadi yang terakhir. Sebelumnya, di Prancis, kita mengenal kasus berulangCharlie Hebdoyang memuat kartun Nabi Muhammad, bahkan setelah tragedi berdarah tahun 2015 yang menewaskan belasan orang. Di tengah luka yang belum pulih, majalah itu kembali menerbitkan kartun kontroversial pada 2020, memantik kembali gelombang protes besar di dunia Islam.

Di Swedia, aktivis radikal sayap kanan, Rasmus Paludan, beberapa kali membakar Al-Qur’an di depan publik sebagai bentuk provokasi yang dibungkus dalam jubah “kebebasan berekspresi.” Aksi tersebut menimbulkan protes internasional dan mengganggu hubungan diplomatik Swedia dengan banyak negara Muslim.

Kebebasan yang Salah Tafsir

Semua ini berpangkal pada satu persoalan krusial: kebebasan yang dimaknai sebebas-bebasnya tanpa tanggung jawab sosial dan kesadaran etis. Ketika kebebasan berekspresi digunakan untuk menyerang simbol keagamaan yang sakral bagi miliaran orang, maka yang lahir bukan demokrasi, melainkan fragmentasi sosial dan luka kolektif.

Dalam teori filsuf Jürgen Habermas tentangpublic sphere, kebebasan berekspresi seharusnya menciptakan ruang dialog rasional demi kepentingan bersama (common good). Namun ketika ruang publik digunakan untuk menyebarkan konten yang ofensif terhadap iman dan keyakinan, maka itu telah melenceng dari tujuan kebebasan itu sendiri.

Habermas menekankan bahwa komunikasi publik ideal harus bebas dari dominasi dan menjunjung norma saling menghormati. Ekspresi yang menyulut permusuhan bukanlah bentuk komunikasi deliberatif yang sehat, tetapi lebih mirip retorika yang melemahkan tatanan sosial.

Kenapa persoalan penghinaan terhadap Islam dan simbol kesuciannya selalu terjadi? Saya menebak ada tiga persoalan mendasar yang perlu diatasi.

Pertama, ada bias besar dalam standar ganda kebebasan berekspresi Barat. Banyak negara Eropa melarang simbol-simbol tertentu seperti swastika Nazi atau ucapan yang menafikan Holocaust, karena dianggap menyakiti kelompok tertentu. Namun, penghinaan terhadap Islam atau Nabi Muhammad justru dianggap sebagai ekspresi seni atau kritik politik yang sah.

Kedua, sebagian media Barat masih terperangkap dalam warisan orientalisme, di mana Islam dilihat sebagai “lain” yang bisa dilecehkan tanpa konsekuensi. Hal ini diperparah oleh naiknya sentimen Islamofobia dan nasionalisme populis di sejumlah negara yang kian tumbuh subur.

Ketiga, platform digital dan algoritma media sosial memperkuat konten ekstrem dan provokatif. Konten yang kontroversial lebih mudah viral dan menghasilkan keuntungan, meskipun menimbulkan perpecahan sosial yang besar.

Mainstreaming Kebebasan yang Beradab

Langkah represif terhadap pelaku penghinaan tentu menjadi opsi sementara, tetapi bukan solusi jangka panjang. Yang jauh lebih penting adalah membangun literasi kebebasan yang bertanggung jawab, baik di level negara maupun masyarakat global.

Negara-negara mayoritas Muslim perlu mengarusutamakan diplomasi kebudayaan dan edukasi internasional untuk menjelaskan bahwa simbol keagamaan bukanlah objek yang layak untuk dijadikan satir atau olok-olok. Sebaliknya, ia adalah bagian dari harga diri komunitas dan sumber makna hidup spiritual yang harus dihormati.

Dalam negara demokrasi yang sehat, kebebasan tidak berarti bebas dari konsekuensi sosial. Kebebasan yang bijak adalah kebebasan yang tahu batas. Bukan karena dipaksa negara, tapi karena didorong oleh empati dan etika bersama.

Dunia hari ini memerlukan redefinisi kebebasan yang tidak mengorbankan keberagaman. Jika ekspresi hanya dilihat dari kacamata individu tanpa menghitung dampak sosialnya, maka dunia akan terus terjerumus dalam siklus penghinaan, protes, dan kekerasan.

Kartun di Turki, aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia, atau kartun Nabi di Prancis bukan hanya insiden semata, melainkan cermin dari krisis pemahaman terhadap kebebasan dan kesucian. Dunia butuh keberanian baru untuk berkata: kebebasan yang baik adalah kebebasan yang menjaga martabat semua manusia — termasuk keyakinan dan identitas spiritualnya.

Facebook Comments