Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di hadapan Sidang Umum PBB beberapa hari lalu menggetarkan panggung diplomasi internasional. Ia menegaskan bahwa Indonesia siap mengakui Israel apabila solusi dua negara benar-benar terwujud, yakni berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat di samping Israel. Orasi ini memancing sorotan global, termasuk dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang secara terbuka menyebut pidato Presiden RI sebagai “pertanda masa depan” bagi dinamika Timur Tengah.
Reaksi di dalam negeri pun tidak kalah hangat. Banyak kalangan menilai ucapan Presiden sebagai langkah pragmatis yang mengedepankan visi perdamaian. Namun, tidak sedikit yang merasa kecewa atau marah, memandang pengakuan terhadap Israel sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan panjang rakyat Palestina. Reaksi emosional ini dapat dipahami, karena sejarah panjang konflik Israel–Palestina telah menghadirkan luka mendalam bagi publik Indonesia yang sejak awal menempatkan dirinya di pihak Palestina.
Di tengah gelombang opini publik yang berlawanan, penting untuk kembali merujuk pada fondasi utama kebijakan luar negeri Indonesia: Pembukaan UUD 1945. Kalimat yang tak lekang waktu itu berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Amanat konstitusi ini bersifat universal. Ia tidak memberi ruang untuk diskriminasi antara satu bangsa dan bangsa lain. Jika kelak Palestina benar-benar merdeka, maka secara prinsip konstitusional, Indonesia berkewajiban menghormati hak hidup dan kedaulatan baik Palestina maupun Israel sebagai dua bangsa yang sah.
Di sinilah muncul dimensi filosofis yang sering luput dari perdebatan publik. Pembelaan terhadap kemerdekaan Palestina tidak identik dengan kehancuran Israel. Kemerdekaan yang diimpikan UUD 1945 adalah kebebasan dari penjajahan, bukan dari eksistensi bangsa lain. Untuk solusi dua negara, yang hendak diciptakan adalah dua entitas yang sama-sama memiliki hak untuk hidup damai dan aman, sesuai amanat universal tadi.
Presiden Prabowo, dalam pidatonya di New York, menyatakan bahwa satu-satunya jalan menuju perdamaian di Timur Tengah adalah solusi dua negara. Ia menekankan bahwa dua keturunan Abraham Arab dan Yahudi harus belajar hidup berdampingan dalam harmoni, tidak lagi terperangkap dalam kebencian atau kecurigaan. Ucapan ini sejalan dengan pandangan banyak ilmuwan hubungan internasional yang menilai bahwa perdamaian yang adil dan langgeng hanya mungkin tercapai bila kedua belah pihak diakui hak eksistensinya.
Pernyataan Prabowo tidak berhenti di ruang sidang PBB. Netanyahu, dalam pidatonya pada sesi debat umum Sidang Majelis Umum ke-80, menanggapi ucapan Presiden Indonesia tersebut dengan nada optimistis. Ia menyebutnya sebagai tanda akan adanya peluang baru bagi rekonsiliasi, seraya menyinggung manfaat kerja sama teknologi yang dapat diakses oleh dunia Arab dan Muslim apabila tercapai kesepahaman dengan Israel.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri RI, Sugiono, menegaskan garis kebijakan luar negeri Indonesia: pengakuan terhadap Israel tidak akan terjadi sebelum Palestina memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan penuh. “Kita tidak akan berbicara hal lain selain recognition terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina,” ujarnya seperti dikutip CNBC Indonesia dan Detikcom (27/9/2025).
Pernyataan Sugiono ini memperjelas posisi Indonesia yang tetap konsisten pada prinsip dasar UUD 1945, sembari membuka ruang bagi diplomasi pragmatis untuk menciptakan masa depan yang lebih damai. Artinya, Indonesia tidak mengabaikan penderitaan rakyat Palestina, namun juga tidak menutup pintu bagi rekonsiliasi yang lebih besar. Dalam kerangka inilah, langkah Presiden di PBB dapat dipandang sebagai sinyal bahwa diplomasi Indonesia telah bergerak dari retorika emosional menuju upaya konkret membangun perdamaian.
Dalam penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Peace Research (2013), yang menyoroti peran pengakuan internasional dalam mengurangi eskalasi konflik. Telhami menunjukkan bahwa pengakuan mutual antara pihak-pihak yang berkonflik meningkatkan insentif politik dan ekonomi bagi mereka untuk mengakhiri permusuhan. Pentingnya bagi Israel dan Palestina, pengakuan terhadap hak eksistensi kedua negara menjadi prasyarat bagi terciptanya keamanan dan stabilitas kawasan.
Ketika publik Indonesia bereaksi keras terhadap pernyataan Presiden, sesungguhnya yang diuji bukan hanya komitmen moral kita terhadap Palestina, tetapi juga kedewasaan kita dalam membaca amanat konstitusi. Semangat UUD 1945 menolak penjajahan dan penindasan, tetapi tidak menghalangi pengakuan terhadap pihak yang sebelumnya menjadi lawan, selama syarat keadilan dan kemerdekaan ditegakkan. Keadilan yang sejati di masa depan bukanlah melihat runtuhnya salah satu pihak, melainkan menyaksikan anak-anak Palestina tumbuh tanpa suara sirene serangan udara, dan anak-anak Israel bersekolah tanpa rasa takut terhadap roket balasan.
Sentimen publik yang menolak segala bentuk kompromi dengan Israel memiliki akar historis yang dalam. Namun diplomasi kenegaraan tidak bisa terus-menerus dikungkung oleh trauma masa lalu. Politik luar negeri yang dewasa berorientasi pada penciptaan masa depan yang lebih baik. Pidato Presiden Prabowo di PBB terlepas dari segala pro dan kontra menawarkan sebuah visi yang selaras dengan amanat konstitusi dalam menghapus penjajahan dan menghadirkan perdamaian yang adil bagi semua bangsa.
Diplomasi Indonesia di era baru ini dituntut untuk mampu menyeimbangkan aspirasi moral rakyat dengan realitas geopolitik. Mengakui Israel hanya setelah Palestina merdeka bukan berarti mengkhianati sejarah, melainkan justru menghidupkan kembali cita-cita UUD 1945 di panggung internasional, bahwa kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian adalah hak semua bangsa tanpa kecuali.