Peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta pada awal November 2025 lalu bukan sekadar insiden kriminal biasa. Itu adalah alarm nyaring yang membangunkan kita dari tidur panjang. Di balik asap dan kepanikan, tersingkap realitas pahit: seorang siswa, yang seharusnya menimba ilmu, justru merakit bahan peledak.
Kasus ini menjadi “wajah” dari fenomena gunung es yang jauh lebih besar. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2025 saja, tercatat 25 kasus anak mengakhiri hidup yang berkaitan erat dengan perundungan. Lebih mengerikan lagi, dari 1.052 laporan pelanggaran hak anak tahun ini, sekitar 165 kasus atau 16% terjadi di tempat yang seharusnya paling aman bagi mereka: sekolah.
Di tengah badai krisis karakter ini, sosok guru berdiri di garis depan dengan beban yang semakin berat. Mereka tidak lagi hanya mengajar rumus matematika atau tata bahasa, tetapi dipaksa menjadi ‘pendamping’ bagi generasi yang jiwanya terluka.
Paradoks siswa yang hidup di generasi digital, Gen Z dan Alpha sangat nyata. Mereka fasih berselancar di dunia maya, namun gagap saat harus berdialog tatap muka. Mereka memiliki persoalan, terutama dalam hal komunikasi maupun interaksi dengan sesama. Secara tidak langsung, dunia digital gagal memberikan perspektif kebangsaan dan empati. Meskipun digital menciptakan anak-anak yang pintar tapi nir empati,
Runtuhnya Benteng Keluarga
Namun, menimpakan kesalahan semata pada sekolah atau gawai adalah kekeliruan fatal. Mengutip pernyataan Darmaningtyas, Pakar Pendidikan Nasional, konsep Tri Pusat Pendidikan yang dipelopori Ki Hajar Dewantara, sekolah sejatinya hanya memegang porsi 30 persen dalam pembentukan karakter. Porsi terbesar, 50 persen, ada di tangan keluarga.
Mirisnya, banyak keluarga di Indonesia yang memiliki masalah. Anak kerap kurang mendapatkan kasih sayang dan kehilangan sosok orang tua di rumah. Sehingga mereka tidak memiliki ruang untuk menyampaikan ekspresinya, baik rasa cinta, emosi maupun kekecewaan. Contohnya, pelaku peledakan SMAN 72. Anak berkonflik dengan hukum (ABH) tersebut disinyalir tidak memiliki ruang untuk berbagi di keluarganya. Ayahnya sibuk bekerja, dan sang ibu bekerja nun jauh di luar negeri.
Ya, ketidakhadiran figur orang tua secara utuh, baik karena faktor ekonomi maupun disharmoni, membuat anak kehilangan tempat bersandar. Ketika rumah tak lagi hangat, sekolah menjadi pelampiasan. Guru, yang seringkali tidak dibekali keahlian psikologis mendalam, harus menanggung “sampah emosi” yang dibawa siswa dari rumah.
Lantas, apa solusinya? Pendekatan tangan besi ala “mandor” yang mengandalkan kekerasan verbal maupun fisik sudah usang dan justru berbahaya. Guru dituntut bertransformasi menjadi fasilitator yang menumbuhkan, bukan mematahkan.
Namun, untuk bisa mengayomi siswa yang “rapuh”, guru sendiri harus memiliki mental baja dan wawasan yang luas. Guru harus bisa beradaptasi dengan kemajuan zaman serta teknologi.
Guru perlu kembali mengkaji literasi sejarah dan wawasan kebangsaan. Memahami biografi para pendiri bangsa bukan sekadar nostalgia, melainkan upaya menyerap nilai ketangguhan mental yang bisa ditularkan kepada siswa.
Hari Guru Nasional tahun ini seharusnya bukan sekadar perayaan. Ini adalah panggilan darurat untuk mengembalikan peran Tri Pusat Pendidikan. Karena sekuat apapun guru bertahan, mereka tak akan mampu menopang generasi ini sendirian tanpa dukungan keluarga yang harmoni.
