Puasa tak menampik perbedaan agama. Puasa lahir dari rahim jaman mengalir melewati berbagai agama. Demikian itu disebutkan dalam al Qur’an bahwa puasa telah lama disyariahkan jauh sebelum Islam datang. Umat Islam pun memaklumi akan hal ini. Mereka sangat kenal dengan berbagai macam bentuk puasa. Puasa Nabi Daud misalnya dikenal dengan puasa menyela hari yakni sehari puasa sehari tidak dan begitu seterusnya. Sementara Nabi Musa berpuasa dikala tidak ada makanan sedikit pun. Sedikit berbeda dengan dua Nabi di atas, Maryam berpuasa dari berbicara; diam.
Ragam puasa ini mencipta ritual antar jaman. Dua orang yang disebutkan terakhir, Musa dan Maryam, secara tidak langsung merupakan dua tokoh pembentuk agama-agama besar hingga abad ini. Musa merangkai agama Yahudi dan Maryam melahirkan Nabi Isa yang kemudian mencipta agama Nashrani. Walau cara puasanya berbeda, hal ini menunjukkan betapa ibadah puasa menjadi sebuah kebutuhan setiap orang antar generasi. Dengan kata lain, apapun agamaya, puasa tidak bisa ditinggalkan bagaimanapun bentuk dan caranya. Secara tekstual al Qur’an pun mengakui bahwa puasa merupakan ibadah yang tidak hanya hadir di saat ini tapi juga diberikan dan dibebankan kepada umat sebelum Islam.
Tidak hanya ritual puasa, tetapi kitab suci agama-agama sebelumnya juga diturunkan bersamaan dalam bulan Ramadhan, termasuk al Qur’an. Ibn Katsir dalam tafsir al Qur’anil ‘Adzim mengutip sebuah Hadits menarik yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal. Bahwa shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat pada tanggal enam Ramadhan, Injil pada tanggal 13 Ramadhan, dan al Qur’an pada tanggal 24 Ramadhan. Ini mengindikasikan bahwa bulan Ramadhan bukan hanya merupakan bulan untuk melaksanakan puasa melainkan sebuah ajang lomba untuk menyandingkan agama-agama dalam kedamaian.
Perlu diingat bahwa kitab suci yang diturunkan di bulan Ramadhan ini merupakan salah satu dari kitab suci yang harus dipercayai dan diyakini oleh umat Islam. konseksuensi dari keyakinan itu adalah melaksanakan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya sekaligus meyakininya sebagai kebenaran. Al-Qur’an pun mengakui dan menghormati kitab-kitab suci agama-agama sebelumnya. Bahkan dalam QS; Al-A’la: 87, ayat terakhirnya berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam ṣuḥuf (lembaran) yang terdahulu, yaitu lembaran Ibrahim dan musa.” Allāh Swt mengutus Muḥammad, salah satu tugasnya untuk membenarkan para rasul sebelumnya, (QS; Al-Shaffat: 37). Itulah mengapa di berbagai ayat al Qur’an kerap ditemui kalimat “qala musa”, “qala Isa”, “qala luqman”, dan lain-lain sebagai bukti bahwa Islam mengakui kebenaran yang dibawa oleh agama lain.
Kewajiban puasa pun di dalam al Qur’an memakai kata “kutiba” yang mana makna lughawinya adalah menulis. Kata “kutiba” ini identik dengan ahlul kitab atau Alkitab, kitab suci agama Nashrani yang sering disebut Injil. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara puasa dan agama-agama sebelumnya sangatlah erat dan akrab. Bahkan kata kutiba juga diikuti oleh kalimat yang tidak kalah misterinya, yakni alladzina min qablikum. Siapakah mereka? Apakah mereka beriman atau tidak? Al Qur’an tidak menjelaskannya secara rinci. Hanya saja, jika ditelaah secara rinci bahwa yang dimaksud dengan alladzina min qablikum tidak hanya orang-orang yang beriman. Karena kata alladzina bisa dipakau untuk orang yang tidak beriman. Dalam buku al Masa’id ‘Ala Tashilil Fawaid dijelaskan bahwa pemakaian alladzina ini tidak hanya tertuju kepada orang yang beriman dan tidak beriman bahkan juga kepada benda mati seperti patung. Alladzi, lima ya’lamu aw syibhuhu a’ni al ashnam allati ‘ubidat min dunillah demikian bunyinya
Atas dasar itu, Ibadah puasa mengajarkan agar manusia menundukkan kepala terhadap yang berbeda. Jika sebelumnya kita merasa lebih hebat dibanding agama lain maka puasa mendidiknya untuk mengalahkan ego merasa benar sendiri. Jika sebelumnya, kita merasa lebih kaya dari yang miskin, justru puasa mendidik kita untuk menjadi apa yang kita benci dan kita rendahkan. Kemiskinan dan kelaparan merupakan dua hal yang tidak diinginkan oleh manusia. Namun puasa meminta kita untuk melakukannya. Begitu juga soal perbedaan agama. Jika sebelumnya membenci Yahudi dan Nashrani atau agama lainnya, apapun alasannya, dengan puasa penting didekati dengan cinta. Pendekatan cinta inilah yang menjadi alasan zakat juga diberikan kepada non muslim bernama muallafah qulubuhum.
Puasa boleh saja dimaknai secara sempit hanya sebatas menahan dan lapar. Akan tetapi, harapan dan proses menuju ketakwaan (la’allakum tataqun) menjadi penentu kwalitas puasa seseorang saat ini. Puasa mengasah jiwa yang pada gilirannya melahirkan akhlak min akhliqillah yang tidak membedakan agama-agama, tidak menghina orang-orang miskin dan anak yatim. Puasa yang berbasis pada rahmatan lil alamin bukan hanya rahmatan lil muslimin. Amin.