Menegakkan Islam Moderat, Melawan Ekstrimisme

Menegakkan Islam Moderat, Melawan Ekstrimisme

- in Narasi
1957
0

Islam moderat (wasathiyah) menjadi obat paling mujarab untuk memotong mata rantai penyebaran ideologi terorisme. Kelompok ektrimis ini selalu menebar ancaman dan kekerasan lewat media dan yang dijadikan sasaran pertama kali yaitu anak muda dengan pemahaman agama yang dangkal. Meskipun pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso sudah tewas di tangan aparat gabungan Satgas Tinombala, tetapi ideologinya terus bisa menyebar. Ini tentu yang harus kita waspadai.

Islam merupakan agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, bukan agama teror. Dengan misi inilah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad Saw. Sebagaimana ditegaskan dalam firmannya, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ 21: 107).

Tiga hal penting yang seharusya menjadi dasar penghayatan agama oleh setiap orang adalah: toleran, moderat dan akomodatif. Bagi seorang muslim, keimanan yang hanya dibalut dengan simbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji (al-akhlaq al-karimah).

Berjenggot panjang, memakai sorban dan bercelana di atas tumit, itu bagus. Tetapi hal-hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan ajaran Islam. Simbol adalah kulit yang siapapun bisa melakukannya, hingga orang jahat sekalipun bisa melakukan itu dengan mudah. Jangan sampai dengan simbol kita terpancing untuk menjustifikasi bahwa orang itu muslim puritan atau abangan, sehingga kita terjebak kepada situasi memprihatinkan seperti sekarang ini di mana Islam diopinikan sebagai agama teroris, atau teroris diidentikkan dengan Islam.

Islam itu tidak mengajarkan kekerasan dan perilaku ekstrem. Sebaliknya, agama Islam adalah agama yang cinta akan kedamaian, agama kebaikan, bukan agama perusak. Sesuai dalam al-Qur’an: “Dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash 28:77).

Lahirnya kelompok ekstrim dalam Islam sebenarnya sudah lama ditegaskan Nabi lewat sabdanya: ”Akan lahir keturunan kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya (tidak memahami substansi misi-misi Al-Qur’an dan hanya hafal di bibir saja). Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Kalau aku menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti halnya kaum ‘Ad.”(H.R. Muslim pada Kitab Az-Zakah, bab al-Kismah).

Dalam riwayat lain Nabi bersabda: ”mereka itu sejelek-jeleknya makhluk bahkan lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk golonganku, dan aku tidak termasuk dalam golongan mereka.” (H.R. Shahih Muslim).

Prediksi Nabi ini benar, terbukti pada Ahad pagi, 17 Ramadhan 40 H. Pagi itu Ali bin Abi Thalib dibunuh di Kufah, Irak oleh Abdurrahman Ibnu Muljam. Ali dibunuh karena dianggap telah memakai hukum manusia (konsensus) bukan hukum Allah sehingga halal darahnya untuk dibunuh. Demikian mengerikan ketika memahami agama secara dangkal dan sepatah-patah. Konon pembunuhnya ini adalah ahli sholat malam, hampir setiap hari puasa, dan hafal al-Qur’an.

Maka dari itu, kita harus beragama secara mendalam dan mengamalkannya secara baik dan benar. Pemahaman agama yang dangkal tentu akan sangat membahayakan, dan sangat mudah untuk direkrut oleh kelompok garis keras. Kesimpulannya, kekerasan dan ancaman itu tidak dibenarkan dalam agama apapun, karena sejatinya setiap agama mengajarkan nilai-nilai kasih sayang dan kedamaian.

Facebook Comments