Menuju Kemanusiaan Berbasis Tauhid

Menuju Kemanusiaan Berbasis Tauhid

- in Narasi
3856
0

Kalender Islam (KI) kini telah menapaki usia ke-1438, tepat pada 2 Oktober 2016. Itu berarti, peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw (terjadi pada 24 September 622 M) sebagai pijakan dimulainya KI telah terjadi 14 abad silam (perihal terbentuknya KI, lihat: MM Azami, 65 Sekretaris Nabi, 2008, h. 24-29). Peristiwa hijrah ini memang klasik lantaran telah lama terjadi. Namun kandungan nilainya terus mengalami kebaruan dan kontektualitasnya tak pernah lapuk dimakan zaman.

Uraian demi uraian yang menggali nilai-nilai adiluhung hijrah terus dilakukan, hatta oleh akademisi nonmuslim. Mutiara dan hikmah kehidupan pun terkuak dengan berbagai cahaya kemilaunya. Sampai-sampai Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad (1972) menyebut peristiwa ini sebagai “pembuka pintu baru dalam kehidupan politik.” Pasalnya, paska hijrah ini Nabi Saw mencanangkan dasar peradaban yang menghormati martabat dan HAM.

Nabi Saw misalnya, mengakui kebebasan beragama, menyatakan pendapat, jaminan keselamatan harta benda, larangan tindak kejahatan, dan sebagainya. Ini terbukti dengan diterbitkannya Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) yang berisi kesepakatan hidup bersama antar berbagai ragam komunitas. Tahapan baru kehidupan Nabi Saw ini, oleh Guru Besar Sosiologi Universitas California AS Robert N Bellah, malah disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban. Menurutnya, ini terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah kala itu.

Ini baru satu sisi mutiara hijrah Nabi Saw. Masih banyak sisi lain yang tak kalah menarik diulas. Namun toh samudera inspirasi itu tak pernah kering. Bahkan terus menyemburkan nilai-nilai baru. Ibarat mutiara, peristiwa hijrah akan memancarkan cahaya berbeda-beda tergantung siapa yang memandangnya.

Dan benar saja, hijrah baik dalam pengertiannya yang leterlek maupun metaforis tak pernah mati. M. Abdullah al-Khatib dalam karyanya, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, mengisahkan sahabat yang sowan pada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, saya baru mengunjungi kaum yang berpendapat hijrah telah berakhir.” “Sesungguhnya hijrah tidak ada hentinya, hingga terhentinya tobat. Tobat pun tidak ada hentinya, hingga matahari terbit dari barat,” respon Nabi Saw.

Kemanusiaan Berbasis Tauhid

Diantara nilai adiluhung hijrah Nabi Saw, adalah pengajaran prinsip “kemanusiaan berbasis tauhid”. Maksudnya, prinsip yang mengedepankan kepedulian pada sisi kemanusiaan (kemiskinan, pendidikan kaum lemah, kesehatan kaum papa, dll), namun berpijak pada ketauhidan yang kukuh. Bukan kemanusiaan yang kering nilai ketauhidan.

Misalnya, sebelum Nabi Saw dan para sahabatnya eksodus ke Yatsrib (yang lantas menjadi Madinah), sisi ketauhidan lebih dulu ditancapkan di Makkah selama 13 tahun. Di bumi spiritual Makkah – karena sebagai kiblat shalat dan poros haji – ayat-ayat ketauhidanlah yang banyak diturunkan. Ayat-ayat ini diniatkan sebagai landasan pacu mengarungi kehidupan ini.

Setelah ketauhidan ini kukuh, barulah Nabi Saw dan para sahabat dititahkan mengelola Madinah sebagai bumi kemanusiaan. Di sana, mereka harus berbaur dengan komunitas yang heterogen, baik agama maupun etnis. Ada Yahudi, Nasrani, Watsani (penyembah berhala) dan sebagainya. Lantas dicanangkan tata kehidupan bermasyarakat melalui Piagam Madinah. Di sinilah peran khalifah fi al-ardh begitu nyata, ketimbang di Makkah.

Di Madinah yang hanya 10 tahun ini, ayat-ayat tentang hubungan sosial, hubungan antar agama, kepedulian pada si lemah, termasuk ayat wajib zakat diturunkan. Ini karena orientasi kehidupan di Madinah lebih pada nilai humanisme ketimbang spiritualisme an sich. Namun, nilai kemanusiaan ini baru terlaksana setelah nilai ketauhidan tertanam kukuh. Karenanya, menjadi “tak ada makna” bahkan kering, nilai kemanusiaan yang tak dipondasi nilai ketauhidan. Hambar rasanya orang berzakat tanpa percaya wujud Allah SWT. Begitupun “tak ada nilai” orang yang percaya wujud Allah SWT tapi acuh pada nilai kemanusiaan.

Dengan demikian, keduanya – baik ketauhidan maupun kemanusiaan – harus berjalan beriringan, kendati ketauhidan tetap diletakkan sebagai pondasinya. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Itulah orang-orang yang beroleh kemenangan”. (Qs. at-Taubah: 20). Beriman dulu, berhijrah, dan baru berpikir tentang nilai kemanusiaan baik dengan harta maupun diri. Inilah orang yang beroleh kemenangan. Dan inilah altruisme, sifat mementingkan orang lain berbasis ketauhidan.

Peristiwa hijrah juga menunjukkan, kendati Makkah sebagai bumi spiritual sangat dicintai Nabi Saw dan bahkan berat ditinggalkan, tetap saja realitas sosial Madinah tak lantas diabaikannya. Kendati Makkah adalah tempat yang sungguh-sungguh menenteramkan batin, realitas kehidupan Madinah tetap harus diurus. Tak boleh berlama-lama di menara gading Makkah dengan acuh pada kondisi kemanusiaan di Madinah. Atas dasar itu, sudah seharusnya kita mengaca pada hijrah Nabi Saw; dalam konteks menuju kemanusiaan Madinah berbasis ketauhidan Makkah.

Pun demikian, tentu saja “fitrah”nya, spiritualisme akan lebih diimajinasikan oleh umat manusia ketimbang humanisme. Nabi Saw sendiri selalu ingin kembali ke bumi spiritual Makkah. Hingga akhirnya terjadilah Fathu Makkah pada 12 Ramadhan 8 H. Tapi sebagai khalifah di bumi yang ditugasi mengurus hal-ihwal kemanusiaan, Nabi Saw tidak lantas menetap di Makkah melainkan kembali ke Madinah hingga akhirnya meninggal di sana, di tengah tugas-tugas kemanusiaannya.

Akhirnya, marilah kita berhijrah menuju kemanusiaan dengan pondasi ketauhidan yang kukuh. Letakkanlah Allah SWT sebagai dasar dan orientasi kehidupan ini. “Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa berhijrah karena dunia atau wanita, maka hijrahnya menuju yang ia inginkan.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Wa Allah a’lam.

Facebook Comments