HARI Kamis, 10 November 2016, menjadi menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Apa sebab? di hari itu kita kembali memperingati hari pahlawan. Sebuah acara ritual setiap tahun yang digelar untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan untuk negeri ini. Lebih dari itu, semangat juang itu diharapkan dapat diwujudkan dalam perilaku positif demi kemajuan bangsa Indonesia.
Ketika memperingati hari pahlawan, tentu saja kita akan ingat dengan satu sosok yang fenomenal. Ia adalah Bung Tomo, sapaan akrab Sutomo. Dengan keahlian orasinya itu, ia berhasil membakar api semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan sekutu demi tetap tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia. Karena kobaran api semangat juang itu, mereka tak gentar sedikitpun untuk berjuang.
Mereka para pejuang itu sudah sebagian besar dijadikan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah. Menurut catatan redaksi Jalan Damai (7/11), setidaknya ada 163 tokoh nasional yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Mereka dianggap banyak berkorban, baik pikiran, raga maupun jiwa, demi generasi berikutnya agar menghirup angin segar kemerdekaan Republik Indonesia.
Semangat kepahlawanan mereka ini harus diteladani oleh generasi saat ini maupun berikutnya. Peran seperti apa yang bisa kita lakukan ? hemat saya, kita bisa menjadi pahlawan kebhinnekaan. Peran ini begitu strategis, apalagi Indonesia memang begitu plural. Meskipun demikian, mereka tetap bersatu jua dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inilah bhinneka tunggal ika.
Semangat kebhinnekaan NKRI ini jika kita melihat tragedi dewasa ini mulai terancam keberadaannya. Sebagai contoh, setelah terjadi bentrokan antar umat beragama di Tolikara Papua (Juli 2015), kemudian muncul tragedi serupa di Aceh Singkil (Oktober 2015), di Tanjung Balai Sumatera Utara (30 Juli 2016), dan pada Sabtu (30/7) juga terjadi di Tanjung Balai Sumatera Utara.
Tragedi itu, mau tidak mau, mengingatkan kita akan potensi konflik yang jika tak dikelola dengan baik akan membawa malapetaka di negeri ini. Memang, tindakan cepat untuk mengatasi konflik itu perlu diapresiasi. Namun, jika melihat terus terulangnya insiden itu, kita patut menyayangkannya. Artinya, manajemen konflik saat ini lebih bersifat post-factum daripada yang bersifat antisipatif. Padahal, manajemen konflik seperti ini cenderung tak akan menyelesaikan akar konflik itu.
Konflik tak lebih dari adanya beberapa pilihan yang saling bersaing atau tak selaras (Peg Pickering, 2001). Dari pengertian ini mungkin terlalu sederhana. Dalam masyarakat sekarang yang bergerak dengan dinamika yang serba cepat dan penuh persaingan, timbulnya konflik tak dapat dielakkan. Di mana saja kita berada selalu ada pilihan-pilihan yang bertentangan. Menjadi persoalan kemudian jika konflik itu disertai dengan adanya kekerasan.
Dalam perspektif kebudayaan Islam, gejala kekerasan dipandang sebagai salah satu ciri kehidupan manusia yang belum beradab. Ironisnya, di mana manusia sudah mencapai modernitas, realitas menunjukkan umat manusia tetap saja bergumul dengan konflik yang berujung pada anarkis. Mungkin inilah kondisi yang sedang menimpa masyarakat kita yang gemar mewarnai konflik itu dengan kekerasan.
Pada titik ini, ketenangan menjadi hal yang sulit dan mahal diperoleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Padahal, seorang Abraham Maslow sudah lama mengingatkan melalui The Theory Of Basic Need. Bahwa keamanan atau ketenteraman bagi manusia merupakan salah satu kebutuhan yang sangat mendasar (basic need).
Dalam mengelola konflik di Indonesia, hemat saya, antisipasi diperlukan jauh lebih mendesak daripada bertindak setelah konflik itu terjadi (post-factum). Manajemen konflik antisipatif adalah langkah yang dapat diambil dalam rangka mengarahkan konflik ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tak mungkin menghasilkan ketenangan dan perihal positif.
Manajemen konflik antisipatif merujuk pada pola perilaku masyarakat Indonesia dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. Maka, masyarakat dituntut untuk memiliki keterampilan sosial yang meliputi kemampuan persuasif, komunikasi, leadership, membina dan merawat hubungan, kolaborasi bersinergik dalam mencapai tujuan bersama yang dituangkan dalam bentuk komitmen bersama.
Terhadap manajemen konflik antisipatif, tulisan redaksi Jalan Damai berjudul “Merawat Ukhuwah Wathoniah dalam Bingkai Kebhinnekaan” benarlah adanya. Fakta Indonesia sebagai negara yang majemuk, memang, menuntut segenap warganya untuk dewasa. Fitnah dan hasutan, baik itu yang beredar di darat maupun di ruang maya, tak perlu digubris. Justru, semangat menjaga ukhuwah itulah yang mestinya harus terus digalakkan oleh segenap elemen bangsa Indonesia.
Terhadap menjadi pahlawan kebhinnekaan, pesan Peg Pickering (2001) ini memiliki relevansinya. Saat paling baik untuk menghadapi konflik, menurut Pickering, adalah saat jumlah orang yang terlibat masih kecil. Dari sini, kita perlu mendeteksi lebih dini kemungkinan-kemungkinan konflik antar kelompok itu terjadi. Dengan begitu, penanganannya bisa secepatnya dilakukan sehingga tak membuat kemajemukan bangsa Indonesia menjadi cerai-berai dan kebhinnekaan menjadi terkoyak.
Dalam momentum peringatan hari pahlawan kali ini, hal itu menjadi pekerjaan bersama segenap pihak. Semangat kepahlawanan sejatinya adalah semangat berkorban demi kemaslahatan dan keutuhan NKRI. Berkorban untuk menjaga bangunan kokoh kebhinnekaan NKRI tetap berdiri tegak juga adalah tindakan pahlawan. Selamat hari pahlawan 2016.