Agar Isu SARA Tak Jadi Malapetaka, Mari Muliakan Etika Bermedia Massa!

Agar Isu SARA Tak Jadi Malapetaka, Mari Muliakan Etika Bermedia Massa!

- in Narasi
1436
0

“Demi Dia (Allah) yang diriku ada di tangan-Nya, kamu sekalian tidaklah akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sehingga kamu saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang kalau kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Sebarkan salam perdamaian antarsesamamu!” (HR. Muslim no. 54)

Sebagai bangsa yang religius, sudah sejatinya muatan yang termaktub dalam sabda Nabi Muhammad itu menjadi pegangan kita semua. Terlebih di era informasi yang semakin bebas tak terbatas seperti sekarang ini. Seperti kita pahami, di media sosial (medsos) misalnya, belakangan ini berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), provokasi, dan sejenisnya, lebih lagi yang mengandung unsur suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), menjadi salah satu perhatian yang sedang berkembang dan hangat dibicarakan publik.

Tidak saja menjadi pusat perhatian, namun bersamanya juga telah melahirkan keresahan bagi sebagian masyarakat. Keresahan itu juga dialami oleh para pemangku kebijakan alias oleh para pejabat negara. Oleh karenanya, bisa dipahami jika beberapa waktu yang lalu pemerintah membentuk lembaga anti hoax yang khusus menangani berita-berita bermuatan negatif yang dapat memecah belah keutuhan dan perdamaian bangsa, yakni Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Hoax, provokasi, dan sejenisnya memang tidak bisa dianggap remeh, sebab bersamanya akan melahirkan malapetaka yang tidak kita inginkan. Sudah banyak contohnya bahwa konflik yang mengemuka di masyarakat nyaris terjadi lantaran provokasi. Apalagi yang berkaitan erat dengan SARA. Ibarat kayu kering dibakar api, provokasi itu ibarat minyak yang menjadi katalisator konflik itu mudah sekali tersulut, menjalar, menyebar, dan membesar, hingga sulit untuk dipadamkan.

Dalam konteks ini, tidak ada salahnya jika kita mengorek luka lama, seperti konflik Sampit dan Sambar. Meskipun membuat seluruh tubuh kita merasakan nyeri, namun perlu ditegaskan konflik itu membesar lantaran adanya muatan unsur SARA. Juga tak ada salahnya kita membuka lagi lembaran sejarah konflik di Ambon. Konflik itu membesar terjadi lantaran perbedaan agama. Dan konflik di Sampang, usut punya usut membesar karena adanya perbedaan aliran.

Yang membuat ironis ialah bahwa setelah ditelisik lebih lanjut dan mendalam, ternyata konflik-konflik tersebut hanya dipicu kriminalitas biasa. Namun pada kenyataannya konflik itu kemudian membesar. Penyebab utama membesarnya konflik tersebut setelah ditelisik lebih mendalam ialah karena adanya unsur provokasi pihak-pihak tertentu, sehingga konflik tersebut menjadi tragedi memilukan bagi kita semua. Dalam pepatah Jawa, agaknya inilah yang disebut “Sepele dadi gawe”. Sesuatu yang kecil tetapi dampaknya bisa begitu besar dan berkepanjangan.

Bisa dipahami, jika hoax dan sejenisnya senantiasa menghiasi media massa, lebih lagi yang mengarah pada unsure SARA, tentu yang ada hanyalah adu domba antar sesama anak bangsa. Maka, perang saudara akan menjadi ancaman nyata bangsa kita. Ibarat bom waktu, pertumpahan darah itu tinggal menunggu meletusnya.

Kita tentu tidak menghendaki adanya pertumpahan darah di antara sesama manusia. Sebab, selain secara prinsipil hal ini tidaklah selaras dengan fitrah manusia, yakni fitrah kebenaran. Yang bersamanya kita menghendaki hidup dalam kedamaian dan ketenteraman, bukan kehidupan yang kacau. Secara inheren hal tersebut juga mengancam persatuan yang sudah ratusan tahun kita rintis bersama, hanya untuk memperoleh kemerdekaan bersama dengan segala konsekuensinya.

Dengan kata lain, jika berita hoax dan kawan-kawannya itu hadir di tengah-tengah masyarakat, apalagi secara massif, sudah tentu akan sangat berbahaya. Masyarakat akan terpecah belah. Tidak saja dalam hal pandangannya terhadap suatu peristiwa, melainkan juga sikap dan tindakannya akan berbeda satu sama lainnya. Jika yang terjadi seperti ini, yang benar bisa jadi salah dan yang salah bisa jadi benar. Walhasil, kehidupan jadi carut-marut. Kehidupan tidak akan tertata sebagaimana yang didambakan, bahkan malah semakin menjauhinya. Kita pun kembali ke zaman bar-bar.

Memuliakan Etika Bermedia

Maraknya berita hoax, kejahatan penipuan, hujatan, penebar kebencian (hate speech), radikalisme atau terorisme, dan sejenisnya sebetulnya ialah salah satu dari sekian banyak permasalahan media yang lahir akibat kran kebebasan pers telah dibuka lebar-lebar sejak reformasi 1998. Dan kebebasan informasi itu disalahartikan dan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Bisa jadi inilah yang dimaksud oleh Haris Sumadiria (2016) bahwa kita telah menikmati atau justru babak belur akibat serangkaian uji coba pascareformasi.

Itu semua bisa terjadi karena para pengguna jasa media tidak lagi mengindahkan nilai-nilai moral atau etika dalam bermedia. Ibarat kata, sebagian besar dari kita ini minus etika. Sehingga, dengan mudah dan tanpa perasaan bersalah banyak pihak memproduksi berita hoax dan sejenisnya itu.

Dalam pandangan Islam, etika dan moral menjadi poin penting yang perlu diketengahkan dalam berkehidupan. Untuk itulah, seperti dikatakan Monib (2011), manusia dibekali akal pikiran, kemudian agama, dan terbebani kewajiban terus-menerus mencari dan memilih jalan hidup yang lurus, benar, dan baik. Dari situlah terbentuk bahwa manusia adalah makhluk etis dan moral, dalam arti bahwa perbuatan baik dan buruknya harus dapat dipertanggungjawabkan, baik di dunia ini kepada sesama manusia, maupun di akhirat di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Poin bahwa manusia merupakan makhluk etis atau moral ini sangat penting. Tidak ada bidang kehidupan yang tidak berkaitan dengan masalah etika dan moral. Segala tindakan manusia sendiri mesti mempertimbangkan aspek etika dan moral. Tanpa memperhatikan nilai-nilai ini, yang terjadi ialah sebagaimana yang dikemukakan Hobbes, bahwa manusia akan memangsa dan menerkam sesamanya. Tanpa aspek etis dan moral kehidupan manusia tidak ada bedanya dengan kehidupan binatang.

Kita tentu tidak menginginkan masyarakat kita kacau balau, terpecah belah. Sebab jika itu terjadi, biaya yang harus kita korbankan untuk mengembalikan keadaan seperti sediakala sangatlah mahal, untuk tidak mengatakan tidak bisa melakukannya. Oleh sebab itu, agar kedamaian bangsa ini tetap terjaga denga apik, sudah sepatutnya dalam bermedia pun kita juga perlu mengedepankan dan memuliakan etika.

Mengedepankan etika ini akan berbanding lurus dengan kepedulian terhadap situsasi dan kondisi yang saat ini sedang terjadi. Dalam kaitannya dengan media massa yang sudah dirauni oleh berita-berita yang dapat mengadu-domba, juga dengan etika, selaras dengan persoalan ini, maka, menyebarkan salam perdamaian adalah konsekuensi logis yang melekat bersamanya. Sehingga dengan begitu dapat meminimalisir segala kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Hal itu patut disadari dan dimiliki oleh semua pihak, baik oleh pemilik media, para wartawan, dan/atau ataupun perorangan yang sekarang juga dengan mudah memproduksi dan/atau menyebarkan berita. Sebaliknya, mereka justru aktif untuk turut menyebarkan salam perdamaian bermedia sosial. Wallahu’alam

Facebook Comments