Isra mikraj bisa dikatakan sebagai sebuah “artefak” sejarah dalam perjalanan Islam. Perjalanan monumental Nabi Muhammad, dari Masjidil Haram (Mekkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina), lalu menembus langit ketujuh dan berakhir di Sidratul Muntaha memiliki banyak makna yang bisa kita refleksikan di era sekarang. Di masa lalu, Isra mikraj terjadi di tengah katakanlah keterpurukan Nabi Muhammad. Di satu sisi, dakwah Islamnya di Mekkah tidak mengalami kemajuan bahkan bisa dibilang mengalami kemunduran. Di sisi lain, ia tengah dirundung duka lantaran meninggalnya Khadijah
Di era sekarang, berabad sejak Isra mikraj terjadi, kita memperingatinya di suasana yang juga tidak baik-baik saja. Umat Islam, khususnya di Indonesia saat ini tengah menghadapi persoalan terkait maraknya hoaks dan mewabahnya radikalisme. Hoaks sebagai salah satu residu dari era digital dan ekses dari fenomena keberlimpahan informasi (information abundance) telah melatari perpecahan di kalangan umat Islam. Hoaks yang berkelindan di seputar isu keagamaan, politik, dan sosial-budaya telah menggiring umat dalam relasi sosial yang dipenuhi ketidakpercayaan, kecurigaan, dan ketegangan.
Sekira satu dekade terakhir, hoaks di media digital telah menjadi masalah laten yang mengancam keutuhan bangsa. Di ranah politik misalnya, hoaks telah menjadi semacam senjata andalan untuk menyerang lawan. Sedangkan di ranah keagamaan, hoaks kerap dipakai untuk mendeskreditkan kelompok agama atau aliran tertentu. Dalam relasi sosial-kebangsaan, hoaks ibaratnya seperti kanker yang diam-diam menggerogoti tubuh bangsa dari dalam dan bisa berakibat fatal jika tidak ditangani sejak awal.
Tidak kalah berbahaya dari hoaks ialah fenomena radikalisme berbalut agama. Radikalisme dalam konteks Islam muncul karena sejumlah faktor. Antara lain, pemahaman keagamaan yang cenderung tekstualis-skripturalis. Cara pandang keagamaan yang demikian ini cenderung arogan dalam mengklaim kebenarannya sendiri dan menolak kebenaran alternatif. Selain itu, radikalisme juga dilatari oleh perasaan sekelompok orang yang merasa diperlakukan tidak adil oleh sebuah sistem. Umumnya, radikalisme tumbuh subur di tengah masyarakat yang eksklusivistik dan intoleran.
Dalam banyak hal, hoaks dan radikalisme saling bertautan, berkelindan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Narasi-narasi hoaks di dunia maya kerap mengadung konten radikalisme keagamaan. Sebaliknya pula, radikalisme dimungkinkan menyebar lantaran ditopang oleh argumen yang kebanyakan tidak lebih dari hoaks. Di titik ini, muncul pertanyaan bagaimana merefleksikan peristiwa isra mikraj yang terjadi beberapa abad lalu ke dalam konteks kontemporer yang diwarnai oleh fenomena hoaks dan radikalisme?
Di era kontemporer, terutama ketika bangsa tengah berhadapan dengan hoaks dan radikalisme, isra mikraj kiranya bisa dipahami sebagai sebuah momentum perubahan bangsa ke arah lebih baik. Sebagaimana juga dalam perjalanan kenabian yang dijalani Nabi Muhammad. Sebelum isra mikraj, ia nyaris merasakan putus asa karena belitan persoalan, baik dalam konteks dakwah maupun dalam kehidupan pribadinya. Isra mikraj yang diwarnai oleh berbagai peristiwa simbolik menyadarkan Nabi Muhammad bahwa tugas kenabiannya ialah misi mulia, namun juga sekaligus tidak ringan.
Merevitalisasi Makna Shalat
Salah satu inti dari perjalanan isra mikraj ialah perintah diwajibkannya sholat lima kali dalam sehari bagi umat Islam. Pasca isra mikraj, sholat kemudian menjadi pilar penting peribadatan dan keimanan muslim. Shalat merupakan kunci umat Islam dalam meraih keridoan Allah Swt. Selain kaya nilai spiritual, shalat juga memiliki nilai-nilai sosial. Shalat mengajarkan manusia disiplin dan menghargai waktu. Selain itu, shalat juga bisa menghindarkan manusia dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana dijelaskan dalam Alquran.
Maka, ibadah shalat kiranya tidak berhenti menjadi sarana ibadah simbolik. Kesempurnaan shalat seorang muslim tidak berhenti pada bagamaina kekhusukan atau kefasihan bacaannya. Lebih dari itu, kesempurnaan shalat justru dinilai dari perilaku umat Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Maka, menjadi ironis apabila seorang muslim rajin menunaikan shalat namun masih gemar menebar hoaks, apalagi terjebak di dalam paham radikal. Shalat idealnya menjadi sarana pembebasan manusia dari kepalsuan dan kebencian.
Secara implisit, shalat mengajarkan manusia akan kepasrahan terhadap kekuasaan Allah. Bahwa tidak ada kekuasaan selain kekuasaan Allah. Shalat juga mengajarkan kesetaraan manusia di hadapan Allah. Di dalam shalat, tidak ada pembedaan manusia berdasar derajat dan status sosialnya. Nilai filosofis inilah yang idealnya kita manifestasikan dalam kehidupan kebangsaan kita hari ini. Bahwa hidup berbangsa kiranya harus mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Bangsa ini akan kuat dan berjaya manakala umat Islam menjadikan nilai-nilai shalat sebagai paradigma kehidupan sosialnya.
Seperti kita tahu, bangsa kita di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo tengah giat membangun sarana fisik dan beragam infrastruktur. Jalan tol, bandara, pelabuhan dan segenap infrastruktur lainnya merupakan prasyarat mutlak agar kita bisa bersaing menjadi negara maju. Namun, hal itu tidak akan bermakna apa-apa jika kita abai pada pembangunan aspek spiritual kita. Bangunan infrastruktur itu tidak akan berfungsi optimal pada kemajuan bangsa jika bangunan spiritual kita lemah. Bangsa ini tidak akan meraih kejayaan jika kita terus berkubang pada hoaks dan radikalisme.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam dan seluruh eksponen bangsa Indonesia untuk merevitalisasi bangunan spiritual. Bangsa Indonesia harus melakukan napak tilas perjalanan spiritual sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad. Tentu bukan dengan berisra dan bermikraj ke langit tingkat tujuh. Melainkan cukup membersihkan hati dan pikiran dari nalar kebencian, hoaks dan radikalisme. Serta menghijrahkan pola pikir serta praktik keberagamaan kita yang sebelumnya bernuansa eksklusif-radikal menuju keberislaman yang inklusif-toleran. Dengan begitu, kita akan mencapai satu tahapan spiritual yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Membangun bangsa niscaya harus melibatkan aspek fisik (infrastruktur) dan aspek karakter manusianya. Arah perjalanan bangsa akan timpang jika pembangunan hanya menitikberatkan pada salah satu aspek saja. Maka, gagasan revolusi mental dan pembangunan manusia yang menjadi jargon pemerintahan Jokowi periode kedua ini kiranya selaras dengan spirit revolusi peradaban Islam pasca peristiwa Isra Mikraj. Sebuah gagasan tentu tidak akan berarti apa pun jika tidak dieksekusi oleh manusia sebagai aktor kehidupan. Momentum peringatan isra mikraj inilah yang sekiranya bisa membangkitkan kesadaran umat Islam dan bangsa Indonesia untuk menyelaraskan tujuan berbangsa dan bernegara. Dengan timbulnya kesadaran kebangsaan itu, kita patut optimis bisa menghalau hoaks, kebencian dan radikalisme yang bertahun-tahun menjadi patologi sosial yang mengganggu kemajuan bangsa. Semoga.