Beberapa waktu lalu, ruang publik disibukkan dengan narasi pro-kontra upaya pemulangan Kombatan ISIS eks WNI oleh pemerintah. Dalam laporan BBC Indonesia (08/02), pemerintah belum bisa memutuskan untuk memulangkan atau tidak para kombatan ISIS tersebut, perlunya masyarakat menunggu keputusan rapat terbatas presiden dengan kementrian terkait. Syukurnya, pada (12/2) sebagaimana diberitakandetik.combahwa Mahfud MD, sebagai Menko Polkhukam menyampaikan ISIS eks WNI tidak akan dipulangkan pemerintah.
Hal tersebut menjadi berita baik dan narasi yang mendinginkan suasana hati 260 juta rakyat Indonesia di tengah rasa ketakutan terhadap kembalinya para kombatan ISIS eks WNI. Keputusan pemerintah ini sebenarnya sudah didahului oleh NU sebagai ormas islam terbesar di Indonesia, tetapi keputusan pemerintah ini menjadi legal standing untuk mengurai tendensi di masyarakat.
Sebelumnya, dalam sebuah artikel yang dimuat dimojok.co(08/02) berjudul ”mengapa kita perlu menerima mantan kombatan ISIS untuk kembali”, menarasikan pembelaannya sebagai Unpopular opinion terkait dengan pemulangan ISIS eks WNI (khususnya Ibu dan anak-anak) atas dasar kemanusiaan. Selain itu, alasan penulis ini bahwa mereka merupakan korban yang tidak patut sepenuhnya disalahkan. Padahal bagi saya tidak ada tolok ukur yang jelas secara hukum mereka sebagai korban. Seketika artikel tersebut dipenuhi dengan berbagai hujatan netizen.
Bahkan ketika wacana pemulangan ini mencuat, kemudian publik teringat dengan pembakaran passport yang dilakukan oleh anak-anak kombatan ISIS yang tersebar di media sosial. Padahal faktanya passport merupakan “separuh nyawa” bagi siapapun orang yang berpergian ke luar negeri.
Dalam konteks ini, kesengajaan mereka membakar identitas (passport) yang merupakan bagian dari hidupnya di negeri orang menjadi bukti bahwa mereka telah berkhianat kepada negaranya serta secara tidak langsung mereka bisa diafirmasi telah kehilangan kewarganegeraannya. Apalagi ditambah dengan kesengajaan mereka menghina pancasila dan mengatakan bahwa Indonesia nerupakan “negara thogut”.
Pengalaman saya melancong ke Singapura ketika masuk di imigrasi, terdapat penjagaan keluar-masuk WNA yang sangat ketat. Bahkan di Thailand, ketika masuk ke berbagai kawasan terdapat pos Check point yang dijaga oleh Tentara Thailand dalam rangka pengamanan agar human security bisa kondusif dengan baik.
Atas dasar kemanusiaan kita perlu satu visi untuk menolak kembalinya mereka ke bumi pertiwi. Karena tidak ada yang bisa menjamin, ideologi teroris-jihadis mereka telah atau bisa tereduksi. Ditakutkan, kembalinya mereka bisa menjadi benalu di masyarakat, serta justru meneror dan menyebar luaskan ideologinya. Kita patut bersyukur pemerintah berkomitmen untuk menolak kembali para kombatan ISIS, atas dasar resiko yang lebih besar.
Para kombatan ISIS eks WNI ini bisa diibaratkan seperti tragedi kuda Troya dalam sejarah keraajaan di Yunani, sedangkan masyarakat Indonesia adalah bangsa Troya itu sendiri. Orang-orang Troya mengira bahwa musuh telah kalah dan mereka kemudian memasukkan kuda kayu besar yang tergeletak di luar benteng Troya, padahal sisa dari musuh ini bersembunyi di dalam perut kuda tersebut. Sehingga inilah titik awal dari kekalahan bangsa Troya dan tidak menyadari bahaya kuda kayu tersebut, mereka bisa dilumpuhkan oleh pasukan musuh yang berjumlah dua belas orang pada malam hari, ketika musuh berhasil berada di dalam benteng Troya.
Hal yang ditakutkan juga demikian, jika ISIS eks WNI ini serta merta kita biarkan masuk ke Indonesia. Bisa jadi mereka akan menjadi pasukan musuh yang bersembunyi dibalik dalih kemanusiaan yang disinggung di awal tulisan dan tanpa kita sadari kemudian menyerang balik kita ketika sudah menemukan momentumnya, serta di saat kondisi kita sedang lengah. Kita perlu belajar dari pengalaman masa lalu, bahwa kita harus bahu membahu menguatkan dan menyadarkan masyarakat. Para kombatan ISIS eks WNI ini jangan mudah diberi hati, karena mereka sangat potensial menjadi ancaman bagi eksistensi masyarakat Indonesia kedepan.