Orang belum menyadari bahwa hijrah yang mengatasnamakan keagungan-Nya sebagai panggilan untuk Daulah-Islamiyah. Dengan segenap propaganda yang terstruktur di berbagai media. Mengatasnamakan bangkitnya Islam yang akan menjanjikan kehidupan yang layak di bawah bendera “khilafah”. Namun fakta berkata lain pada bukti realitasnya hanyalah sebuah kezhaliman dan percikan darah yang terus terjadi. Seperti yang dikisahkan oleh mantan pengikut ISIS yaitu Febri Ramdani. Dia adalah saksi sejarah, bahwa betapa bodohnya orang yang teperdaya dengan janji dan personifikasi para kelompok ISIS.
Pria kelahiran 19 Februari 1994 ini menulis buku yang berjudul 300 Hari di Bumi Syam. Menceritakan semua kepahitan di balik hijrah yang dia lakukan. Bagaimana kita bisa membaca secara psikologis dalam buku ini tentang kesadaran dia sebelum hijrah yang dipenuhi dengan kehausan akan spiritualitas dan harapan secara ekonomis.
Dalam buku tersebut, Febri Ramdani menemukan satu keyakinan secara teologis bahwa perintah hijrah ke negeri Syam sejatinya adalah mutlak perintah Allah SWT untuk dilakukan. Dia mengutip salah satu Surah An-Nisa’ Ayat 97. Bahwasanya perintah hijrah merupakan sesuatu yang benar untuk kita lakukan. Dia merasakan ketakutan jika masih tinggal di negara yang penuh dengan kedamaian ini. “Di mana tertulis kewajiban untuk berhijrah apabila khilafah sudah tegak” Hal: 12-13.
Ini satu konstruksi pemahaman dalam ayat Al-Qur’an yang sangat tekstual dan justru mengarah kepada praktik khilafah tersebut. Sehingga kesadaran yang keliru inilah yang menjadi satu pegangan untuk memutuskan berangkat ke bumi Syam dengan dalih ingin menyusul keluarganya yang sudah bergabung dengan kelompok ISIS tersebut.
Febri Ramdani dalam bab pertama yang cukup menarik untuk kita ambil pelajaran adalah kondisi ekonomi yang menjadi faktor strategis para pengikut ISIS berangkat bergabung dengan kelompok tersebut. Dengan menjanjikan segenap kehidupan yang layak, pekerjaan dan kebahagiaan di bawah naungan bendera khilafah. Tentu masyarakat dan dirinya sangat tertarik sekali untuk melakukan hijrah untuk mencapai kehidupan semacam itu.
Namun fakta berkata lain ketika tiba di bumi Syam. Apa yang dia lihat sangat jauh dari kebahagiaan. Ketika bom sana sini meledak dan tumpukan mayat di berbagai tempat justru tidak menggambarkan kebahagiaan. Lantas kekecewaan dan penyesalan yang di dapat. Karena di satu sisi meninggalkan Negara tercinta ini demi hijrah kebahagiaan namun fakta yang terbalik. Bahwa yang ada hanyalah hijrah kezhaliman.
Ini adalah sebuah petualang berdarah yang dihadapi oleh Febri Ramdani yang ditulis dalam bukunya 300 Hari di Bumi Syam. Bahwa yang selama hidupnya dia impikan untuk berhijrah di satu sisi ingin menjumpai keluarganya untuk bersama-sama memenuhi panggilan propaganda Islam oleh para ISIS. Namun kesadaran bahwa kepalsuan di balik janji tersebut Febri menyadari bahwa hijrah yang semacam ini tidaklah benar. Bahkan ini justru bertentangan dengan sikap etika dan moralitas yang ada dalam Islam. Sehingga Febri memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Febri dalam buku ini menceritakan tentang kehidupan dirinya yang sangat sengsara dalam kerumunan orang zhalim (para teroris). Apa yang disebut dengan tegaknya Daulah Islamiyah dalam simbol bendera khilafah ini justru tidak mencerminkan janji-janji yang mereka utarakan. Mereka berjanji untuk memberikan pekerjaan, kehidupan yang damai dan uang transportasi yang mereka bayar akan digantikan. Namun itu tidak terpenuhi.
(Raqqah, “Kami harus Pergi”). Judul dalam bab ke empat ini Febri Ramdani menyadari bahwa suasana tempat, perilaku dan bahkan kekejian para teroris di sana sebagai alasan kuat untuk mencari cara bagaimana bisa terbebas dari kelompok ISIS ini. Hingga pada titik tertentu Febri kehilangan anggota keluarganya karena dibunuh oleh anggota ISIS.
Febri juga menuturkan tentang satu kondisi bagaimana agar kita bisa menyadari bahwa hijrah di bawah naungan ISIS seperti kehidupan yang selalu dihantui dengan kematian. Dalam bab ke empat, dia menuturkan tentang masa di mana para bahwa “ Mereka menembakkan serangan tersebut langsung ke arah kami! Awalnya, setelah mereka memberikan tembakan peringatan, mereka sempat berhenti beberapa saat. Banyak serangan datang dan saya merasakan hembusan angin tepat di kepala saya. Di situlah kami sadar bahwa kita sedang ditembaki. Saat itu juga saya berpikir bahwa kalau kena tembak lebih baik tangan kiri dari pada tangan kanan” Hal:264.
Sungguh telah menjadi bukti bagi kita semua untuk dijadikan pelajaran bahwa hijrah yang dipenuhi dengan janji yang sangat lezat justru tidak sesuai dengan fakta yang ada di dalamnya. Karena yang terjadi hanyalah percikan darah yang terus terjadi bahkan kezhaliman tidak ada habisnya dilakukan oleh kelompok teroris ini. Kita harus menyadari bahwa dalam buku ini juga Febri memberikan satu pesan penting dalam bab terakhir di buku 300 Hari di Bumi Syam tersebut. Bahwa jangan sampai kita merelakan negara Indonesia yang penuh dengan kedamaian, kebersamaan, persatuan dan kenyamanan ini kita buang dan memalingkan kesadaran kita hanya untuk melakukan sesuatu kebodohan yang telah dilakukan oleh mantan pengikut ISIS ini. Hijrah yang dia lakukan demi kebenaran yang semu dan penuh dengan kejahatan. Oleh karena itu, masihkah kita berkeyakinan bahwa hijrah dengan mendirikan khilafah adalah sesuatu yang benar dan penuh dengan kenyamanan?