Belajar Makna Persaudaraan dari Ibadah Haji

Belajar Makna Persaudaraan dari Ibadah Haji

- in Narasi
2104
0

Minat kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah haji dari tahun ke tahun semakin meningkat. Ini terbukti di Indonesia untuk bisa haji harus rela antri berpuluh-puluh tahun. Peningkatan ini seyogyanya dibarengi dengan penggalian dan penghayatan makna haji. Serta sejauh mana relevansi haji dalam kehidupan sehari-hari.

Haji bukan hanya ibadah spiritual, yang semata-mata hanya untuk menjalankan perintah Allah dan memperoleh ridlo-Nya. Melainkan lebih dari itu, haji ialah napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci. Nabi Ibrahim, Hajar dan Nabi Ismail. Semuanya mengandung makna historis yang dalam. Memberi pelajaran bagi seluruh manusia. Menjadi tonggak sejarah paling penting dalam membangun peradaban umat manusia. Sangat wajar bila haji dikategorikan ibadah yang paling sempurna.

Menggali Makna Haji

Memang kita sangat sering mendegarkan nasihat dari ustad, apabila engkau melakukan ibadah haji, maka buatlah akalmu itu pasif, dan yang dioptimalkan ialah hatimu. Saya kira pernyataan ini kurang tepat. Sebab, bagaimana mungkin kita akan mampu menggali makna haji secara mendalam, apabila kekuatan nalar kritis kita tidak bekerja. Jadi yang baik adalah melibatkan tiga aspek: akal, hati dan fisik. Ketiganya harus aktif dan saling bersinergis.

Kita bisa menyaksikan secara nyata bahwa orang yang melaksanakan ibadah haji, ketiga-tiganya secara bebarengan mengambil bagian dan peran secara aktif. Misalnya ketika kita melakukan thawaf, badan kita bergerak mengitari Ka’bah, pikiran sadar dan paham akan apa yang kita lakukan, dan sebaliknya kitapun tahu sejarah diisyaratkannya thawaf ini. Sementara itu hati khusu’, karena menyadari bahwa yang didekati bukan bangunan Ka’bah secara fisik semata, melainkan Allah swt. Mungkin saja ketiga aspek itu tidak bisa sekaligus serempak bekerja dengan intensitas yang sama. Ada kalanya mungkin respon tasawufnya yang menonjol. Di sini hati lebih aktif ketimbang akal. Tetapi ketika istirahat duduk, agak mengambil jarak dari Ka’bah, lalu kita duduk merenung, mungkin kesadaran intelektual yang lebih menonjol. Kita membayangkan bagaimana Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il membangun Ka’bah dan berbagai kisah-kisah yang berkaitan dengan sejarah haji.

Dalam melaksanakan ibadah haji masing-masing orang memiliki pengalaman batin yang berbeda. Taruhlah, ketika kita memakai pakaian ihram. Pikirannya, imajinasinya, membayangkan bagaimana suatu saat saya mengenakan kain kafan, atau ketika saya dikafani. Jadi sangat logis ketika kita memakai pakaian ihram, sama saja satu kakinya meninggalkan dunia, melangkah ke alam akhirat.

Setiap orang mau tidak mau, rela atau tidak rela, mesti akan melepaskan dunia ini. Dengan demikian lewat media haji ini manusia dilatih untuk sadar dan mengakui bahwa dunia ini merupakan tempat sementara saja. Karenanya ketika hari perpisahan itu tiba, dan kita belum siap, maka penyesalan akibatnya.

Ketika kita memakai pakaian ihram, kita lepaskan semua label-label duniawi. Semisal keangkuhan, kesombongan, jabatan, dan semua kebanggan yang bersifat duniawi. Kita melepaskan semua itu, kemudian kita mengenakan kain kafan, pada saat itulah kita menyadari bahwa nanti ketika kita menghadap Allah, tidak ada yang bisa kita banggakan, kecuali amal saleh kita. Ketika semuanya kita lepaskan, yang tersisa pada akhirnya hanya iman dan amal saleh.

Ketika kita melakukan thawaf, hakikatnya kita diharuskan untuk menghayati proses hidup sehari-hari. Memang thawaf dalam arti syar’i harus dilakukan di Makkah. Tetapi thawaf yang sejati itu adalah thawaf yang di rumah, thawaf yang setiap hari kita lakukan. Dari bangun tidur sampai menjelang tidur lagi. Kita tahu thawaf akan lebih bermakna jika yang menjadi pusat gravitasi itu adalah Allah. Jadi kita selalu mengarahkan jalan hidup kita kepada pusat gravitasi tersebut, yakni Allah. Karena kita sering lalai, dan menciptakan pusat gravitasi baru, yaitu duniawi yang bersifat sementara.

Dengan begitu terjemahan dan menifestasi thawaf ialah “inna shalati wa nusuki wa mahyaya, wa mamati lillahi rabbil ‘alamin”. Hidupku, kerjaku, segala jerih payahku, dengan kata lain thawafku ini, baru akan sah kalau semata-mata karena Allah swt.

Hikmah haji adalah menambahkan ukhuwah insaniyah. Dari sinilah kemudian lahir persaudaraan universal. Coba kita lihat semua ayat haji, mengandung penekanan untuk menjaga maslahat tentang kemanusiaan. Dalam haji spirit kemanusiaan bisa dirasakan bukan dalam bentuk kontemplasi diam, tapi justru dalam gerak.

Dengan demikian, persaudaraan (ukhuwah) itu sifatnya dinamis. Karena itu titel haji mabrur harus diwujudkan dalam bentuk solidaritas sosial. Apabila haji hanya untuk kepuasan batin individu saja, berarti dia terjebak dalam hedonisme religius.

Facebook Comments