Dari tahun ke tahun, dalam setiap perayaan natal, nyaris kita akan selalu menemukan tindakan aksi intoleransi. Dari memperdebatkan bagaimana hukum mengucapkan “selamat natal” hingga ada yang ingin membubarkan jemaat yang sedang beribadah di gereja, teror, atau bom-bom yang dipasang di lingkungan gereja yang melaksanakan misa natal.
Apapun sebabnya dan bagaimanapun bentuknya, kekesaran atas nama agama merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Hanya saja, begitu mudah kita temukan di Indonesia tindakan-tindakan radikal, teror, dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Padahal, ajaran agama apapun, sungguh selalu menekankan kerukunan, perdamaian, dan sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Namun, interpestasi dari norma keagamaan yang sakral justru sering dijadikan alasan pembenaran oleh para pemeluk agama tertentu untuk melakukan aksi-aksi kekerasan dan teror antarpemeluk agama.
Terkait akan hal tersebut, kita semua harus kembali menumbuhkan rasa toleransi dengan memahami aturan emas dari beragam agama besar dunia Hindu, Budha, Konfusianisme, Toisme, Islam, Yahudi, dan Kristen. Hal ini karena agama yang hidup dalam diri akan menggerakkan individu dan kelompok pada sebuah petulangan batin yang sunyi, dan selanjutnya dapat memancarkan energi positif ke dalam kehidupan. Inilah seharusnya cara memaknai bentuk keberagamaan agama yang autentik. Dalam perjalanan sejarah, kita menemukan bahwa model keberagamaan yang sejati ini melahirkan tokoh-tokoh perubahan yang sangat dihormati, seperti Konfusius dan Laotze, Buddha, Yesus, Muhammad, dan yang lainnya.
Lagipula, pada dasarnya semua ajaran-ajaran keagamaan memilimiki nilai sangat luhur dan bersifat universal. Agama merupakan jalan manusia untuk memahami hal-hal mendasar dalam hidupnya, seperti tujuan hidup, jalan kebahagiaan, atau makna kematian. Jalan itu ditempuh dalam kerangka spiritualitas, yakni dengan memberi tempat khusus yang luas bagi dunia batin manusia. Selain aspek spiritualitas, nyatanya agama juga mengusung misi kemanusiaan, yakni mencita-citakan kehidupan yang lebih beradab dan manusiawi. Ini terlihat jelas dari peran-peran agama-agama besar dalam memberi warna dan sumbangan berharga pada perkembangan peradaban. Sebagai contoh, sumbangan Hinduisme bagi India pada khususnya dan Buddhisme pada China dan Jepang. Konfusianisme dalam juga berperan penting bagi tumbuhnya etos ekonomi di kawasan Asia Timur hingga saat ini.
Namun demikian, sisi spiritualitas agama juga seringkali menunjukkan hasrat revolusionernya. Ini terlihat saat Nabi Muhammad mulai mendakwahkan Islam di Arabia. Menurut Smith, monoteisme yang diajarkan Muhammad telah mengusik keyakinan politeisme masyarakat Arab Pagan yang sebenarnya dipertahankan karena bisa memberi keuntungan ekonomi yang besar bagi penduduk Mekah. Selain itu, ajaran moral Islam juga sangat kritis dalam memandang praktik tidak adil yang berlangsung pada kehidupan sosial waktu itu.
Agama Kristen misalnya, juga menyampaikan pesan spiritual dimana karena Tuhan mencintai manusia secara mutlak, tanpa menimbang fakta-fakta tertentu seperti keharusan beriman kepada-Nya. Maka, belajar dari doktrin ketulusan Tuhan dalam mencintai makhluk, konsep cinta dan kasih inilah yang dijadikan pijakan dan dikembangkan oleh Kristen (Smith: 2015).
Saling Jaga
Sekalipun kepercayaan dan agama yang dipeluk berbeda, kita harus tetap saling jaga antarpemeluk agama. Ini karena bangsa Indonesia berdiri dengan landasan keragaman budaya, suku, dan bahasa yang berbeda. Saling jaga ialah manifestasi untuk menciptakan harmoni dan mencegah kehancuran bangsa. Saling jaga dan melindungi akan menguatkan hubungan antarsesama warga negara. Saling jaga akan mengeliminasi setiap faktor yang dapat menyebabkan keretakan hubungan. Saling jaga akan menciptakan kerukunan yang sekaligus dapat meredakan konflik karena perbedaan kepercayaan.
Hanya saja, seringkali kita lupa betapa penting kedudukan ‘saling jaga’ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hingga secara tidak sadar justru kita semakin memperuncing perbedaan dan menyulut kebencian antarsesama. Maka itu, penting untuk membangun jembatan perbedaan untuk mendukung semangat saling jaga antarwarga negara. Menunjukkan sikap toleransi, saling menghormati dan menghargai, tidak membenci yang berbeda, tidak melabeli kafir, tidak membubarkan jemaat yang beribadah, tidak mengancam bom, atau bahkan menghalalkan tindak kekerasan kepada sesama yang berbeda keyakinan.
Itulah aspek-aspek penting harus senantiasa kita nyalakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat kemajemukan. Lagipula, kita juga harus ingat bahwa Indonesia ini berdiri atas kepentingan bersama oleh para Founding Fathers dengan latar belakang keagamaan yang beragam. Tujuannya, kita bisa saling mempersatukan pikiran untuk bersama mencapai tujuan nasional.
Jangan sampai perbedaan menjadi ancaman yang dapat mengganggu ketentraman hidup sesama warga negara. Oleh karena itu, jauhilah sikap intoleransi, saling membenci, menfitnah, mengadu domba, ataupun berbuat kekerasan kepada umat beragama yang berbeda. Apapun agamanya, semua warga negara berhak hidup damai dan merasa aman. Wallahu a’lam bish-shawaab.